Pemandangan berbeda terlihat di sekretariat IKPM Cab. Kairo siang
itu, Ahad (07/10). Beberapa warga IKPM tampak sibuk mempersiapkan
makanan ringan dan minuman di ruang bagian depan sekretariat yang
terletak di bilangan Gami’ ini. Hari itu untuk pertama kalinya Bagian
Keilmuan IKPM Kairo menggelar kajian umum al-Qudwah yang sempat mandeg
beberapa tahun ke belakang. Untuk menghidupkan kembali kajianini,
Keilmuaan IKPM memutuskan untuk mengganti format kajian yang sebelumnya
dibuka untuk umum dan tidak memiliki aggota terikat, menjadi kajian
gabungan yang terdiri dari Nun Center dan Al-I’jaz. Anggota kedua kajian
tersebut dijadikan sebagai anggota tetap, disamping warga IKPM lain
yang bersedia untuk bergabung.
Kajian al-Qudwah kali ini menghadirkan dua intelek wanita Masisir,
yatu Halimatuzzahro’ Marzuki dan Rusydiana Tsani untuk mengangkat tema
“Membangun Peradaban dengan al-Quran”. Halimatuzzahro’ Marzuki mewakili
Nun Center dengan mengangkat judul “Peradaban Islam dan Persinggungannya
dengan Barat”; sedangkan Rusydiana Tsani mewakili Kajian Al-I’jaz
dengan membawakan judul “Mengembalikan Kejayaan Peradaban Islam: Kajian
Tematis berdasarkan Ayat-ayat al-Quran”.
Selama kurang lebih 45 menit Halimatuzzahro’ berhasil menyihir
perhatian peserta saat memaparkan makalahnya. Dalam orasinya, Uyok
(demikian dia biasa dipanggil) biasa dipanggil, menuturkan bahwa
perbedaan mendasar antara perkembangan peradaban Barat dan peradaban
Islam ada pada aspek teologis. Di Barat, akal sangat diagungkan melebihi
apapun, termsuk agama. Sementara Islam menjadikan agama (dalam hal ini
adalah al-Quran dan Hadis) sebagai landasan utama dalam membangun
peradaban mereka. Oleh karena itu, Uyok menyebut peradaban Barat adalah
peradaban yang semu dan rapuh, sebab mereka meninggalkan ajaran agama
mereka.
Persinggungan antara Islam dan Barat dalam kacamata Uyok dipengaruhi
oleh tiga hal, yaitu perkembangan peradaban Islam di Andalusia;
perkembangan peradaban Islam di Sisilia; dan Perang Salib (Ccrusade).
Kehadiran Islam di Andalusia menjadi tonggak utama lahirnya peradaban
di bumi Eropa, karena di sana Islam berhasil menghidupkan sebuah
peradaban unggul dalam berbagai aspek kehidupan, seperti keilmuan,
pemikiran, akhlak, sosial dan ekonomi. Melalui pembangunan di berbagai
aspek tersebut, Islam berhasil menjadi peradaban yang paling mengagumkan
saat itu hingga delapan abad berikutnya. Tidak hanya itu, pada masa ini
juga dilakukan penerjemahan buku berbahasa Arab ke Bahasa Spanyol dan
Bahasa Latin di Toledo. Penerjemahan juga dilakukan pada buku-buku
karang para filosof Yunani, seperti Galenus, Plato, Aristoteles dan
Iqlidis.
Selain Andalusia, tempat lain yang menjadi tonggak perkembangan
peradaban dan kemajuan Islam adalah Sisilia. Seperti halnya di
Andalusia, di tempat ini Islam memberikan kontribusi yang cukup berarti
bari Eropa. Selama dua abad menduduki wilayah ini, Islam berhasil
merombak tatanan politik, ekonomi, budaya dan keilmuan. Islam di Sisilia
juga melahirkan ulama-ulama besar, seperti Ibnu Abi Khurasan dalam
bidang Nahwu dan Qiraat, Ali bin Hamzah dalam ilmu bahasa dan syair, dan Barda’i dalam Fikih Malikiy.
Terakhir, peristiwa besar yang mewarnai persinggungan Islam dan Barat
adalah Perang Salib yang berlangsung selama hampir dua abad. Dalam
kondisi perang, kemajuan aktivitas keilmuan Islam yang cukup pesat pada
masa itu, berhasil menarik perhatian Barat yang dalam kondisi sangat
terbelakang. Sebab itu, di sela-sela peperangan yang dilakukan, Barat
berusaha menggali ilmu dari kaum Muslimin.
Masuknya Islam di semua wilayah tersebut, menurut Uyok, adalah bukti
bahwa Islam memberikan sumbangan dan peran yang cukup signifikan pada
perkembangan peradaban di Barat. Dalam masalah keyakinan, Uyok
mengatakan bahwa pada masa itu Islam berhasil mengajak Barat
meninggalkan berhala dan memeluk Islam. Sedangkan dari sisi keilmuan,
khususnya ilmu-ilmu eksakta, Islam mampu mengembangkan ilmu pengetahuan
seperti Geografi, Biologi, Matematika, Kimia dan ilmu kedokteran yang
kini menjadi kebanggaan mereka. Bahkan kitab tentang ilmu kedokteran
karya Ibnu Sina (Aviciena) sempat menjadi diktat utama mahasiswa di
berbagai perguruan tinggi di Persia dan Italia pada abad XII.
Dengan sumbangsih Islam yang sedemikian besar, Eropa kemudian sedikit
demi sedikit mengalami kemajuan. Ketika Eropa beranjak maju, Islam
justru sedikit demi sedikit mundur, hingga akhirnya kepemimpnan dunia
beralih ke tangan mereka. Barat kemudian melahirkan sebuah peradaban
baru yang menjadikan mereka penguasa dunia.
Meski demikian, keberhasilan yang dicapai Barat saat ini tak ubahnya
sebuah fatamorgana. Hal ini, menurut Uyok, dikarenakan tidak adanya
pondasi yang kuat menjadi pijakan peradaban meraka. Uyok menegaskan
bahwa sikap ateisme yang menjadi tren kehidupan masyarakat Barat turut
menghancurkan bangunan peradaban mereka sendiri. Bagaimana tidak, Tuhan
yang merupakan pencipta segala sesuatu di muka bumi ini mencoba untuk
mereka ‘bunuh’ secara perlahan. Inilah salah satu alasannya mengapa
sekularisme berkembang pesat di Barat.
Di akhir pemaparan makalahnya, Uyok menyinggung masalah Islamophobia Barat
yang tengah melanda dunia dewasa ini. Fenomena ini, menurut Uyok,
selain disebabkan oleh dendam historis akibat kekalahan mereka dalam
perang merebut Yerussalem, juga dikarenakan pemahaman mereka yang
setengah-setengah terhadap Islam. Akibatnya, mereka melabeli Islam
dengan berbagai stigma negatif demi meruntuhkan citra positif Islam di
mata dunia. Tidak hanya itu, sikap paranoid Barat terhadap Islam yang
berlebihan kerap kali menjadikan mereka merendahkan dan menghina Islam
melalui film-film yang mereka produksi, seperti “The Satanic Verses”
yang beredar pada tahun 1988, “Submission” di tahun 2004, dan yang
terbaru adalah “Innocence of Moslems” yang rilis September lalu.
Setelah Uyok selesai memaparkan makalahnya, kesempatan selanjutnya
diberikan kepada Rusydiana Tsani. Jika Uyok membahas peradaban Islam dan
persinggungannya dengan Barat, Rusyi, demikian Rusydiana Tsani biasa
disapa, membahas secara spesifik tentang upaya untk mengembalikan
peradaban Islam dari sudut pandang al-Quran. Sebelum mengajukan
upaya-upaya apa yang harus dilakukan oleh umat Islam untuk mengembalikan
kejayaan peradaban meraka, Rusyi mencoba flash back ke
belakang dengan sedikit membahas kejayaan peradaban Islam masa lampau.
Rusyi membagi peradaban Islam ke dalam dua periode, yaitu periode
keemasan yang berlangsung beberapa abad lalu, dan periode “tidur pulas”
yang tengah berlangsung saat ini.
Peradaban Islam yang begitu gemilang beberapa abad silam, menurut
Rusyi dibangun atas tiga komponen utama, yaitu keimanan, amal saleh dan
ilmu pengetahuan (sains). Rusyi menyatakan bahwa keimananlah yang
membuat seoran Muslim menyadari posisinya sebagai hamba dan Tuhan
sebagai sembahannya. Kesadaran ini kemudian melahirkan sikap tawaduk
pada pribadi mereka. Berangkat dari sikap ketawadukan tersebut, Islam
berhasil menaklukkan berbagai wilayah di Eropa dan sekitarnya di masa
lalu tanpa harus merendahkan martabat para pribumi. Islam, dalam
pandanan Rusyi, hadir sebagai kekuatan besar yang tegas namun santun.
Hal ini sangat berbeda bila dibandingkan dengan invasi Barat yang
mengedepankan penindasan dan imperialisme, yang berujung pada kerugian
dan kesengsaraan bagi para pribumi. Itulah mengapa kehadiran Islam
diterima dengan baik oleh masyakarat setempat. Bahkan dengan suka-rela,
mereka berbondong-bondong memeluk Islam secara kaffah.
Unsur yang kedua adalah amal saleh. Mengutip pendapat Abdul Hay
al-Farmawi, salah satu dosen Tafsir di Universitas Al-Azhar, Rusyi
menyebutkan setidaknya ada empat prinsip yang berkaitan dengan amal
saleh. Pertama, amal saleh adalah buah dari iman (tsamrah al-îmân).
Ini artinya, keberadaan iman tidak akan berfungsi tanpa amal salih; dan
sebaliknya, sebuah perbuatan tidak bisa dikategorikan sebagai amal
saeih bila tidak bersandar pada iman. Prinsip kedua, amal saleh adalah fitrah manusia. Ketiga, amal
saleh sejatinya tidaklah bermanfaat bagi Allah SWT, melainkan kepada
setiap individu yang melakukannya, baik di dunia ataupun di akhirat
kelak. Sedangkan keempat, amal saleh mendorong terkabulnya doa. Prinsip keempat ini termaktub dalam al-Quran pada QS. Fathir: 10.
Sedangkan komponen terakhir yang menjadi fakator utama kejayaan
peradaban Islam adalah ilmu pengetahuan. Al-Quran sebagai pedoman bagi
umat Islam telah menjelaskan berbagai keutamaan dan urgensi ilmu
pengetahuan bagi kehidupan umat manusia. Surat al-Mujadilah ayat 11
bahkan dengan jelas menerangkan bahwa Allah memberikan apresiasi
setinggi-tingginya kepada mereka yang beriman dan berilmu. Semua
komponen tersebut, dalam kacamata Rusyi, berhasil membangun peradaban
Islam dengan karakteristik istimewa. Karakteristik tersebut antara lain
universalitas; tauhid; seimbang dan moderat; serta santun.
Setelah berbicara panjang lebar mengenai kegemilangan peradaban Islam
di masa lalu, Rusyi kemudian beralih pada pembahasan tentang keruntuhan
peradaban Islam di masa kini. Rusyi menyebut bahwa peradaban Islam saat
ini sedang berada pada posisi ‘sekarat’. “Umat Islam sedang dalam
kondisi yang sangat memprihatinkan,” tuturnya. Kondisi ini disebabkan
dua faktor, yaitu faktor eksternal yang berasal dari luar Islam; dan
faktor internal yang bersumber dari pribadi umat Islam sendiri. Termasuk
bagian faktor eksternal, Rusyi menyebutkan bahwa kondisi geografis
Islam yang merupakan kawasan tandus dan gersang adalah salah satunya.
Meski demikian, Rusyi memberikan catatan tambahan bahwa mayoritas,
seperti Ibnu Khaldun justru menganggap bahwa kawasan temapat Islam
berkembang adalah salah satu penunjang kemajuan peradaban Islam, karena
di kawasan inilah peradaban-peradaban besar dunia pernah tumbuh dan
berkembang.
Terlepas dari perdebatan tentang faktor ekstrenal tersebut. Menurut
Rusyi kemunduran peradaban Islam lebih banyak disebabkan faktor
internal, seperti materialisme dan sikap malas. Kedua sikap ini, dalam
pandangan Rusyi, tidak hanya negatif, namun juga mendorong terjadinya
dekadensi moral dan lahirnya berbagai tindak pidana, seperti korupsi.
Berawal dari kedua sikap tersebut, Islam perlahan mengalami kemunduran,
hingga sampai pada titik keruntuhan dalam waktu relatif singkat.
Beberapa saat sebelum adzan Maghrib berkumandang, Rusyi mengakhiri
presentasinya dengan menjelaskn upaya-upaya yang harus dilakukan oleh
umat Islam untuk membangungkan peradaban Islam yang sedang “tertidur”
pulas. Untuk membangunkannya, Rusyi menyebutkan dua syarat utama yang
telah dijelaskan dalam surat al-Nur ayat 55-57. Pertama, menyembah Allah
dan tidak menyekutukan-Nya dengan suatu apapun. Syarat ini adalah
syarat utama yang menjadi pondasi awal peradaban Islam. Kemudian diikuti
dengan syarat kedua, yaitu ibadah dan ilmu pengetahuan. Yang
terpenting, al-Quran adalah kitab suci yang diturunkan Allah sebagai
petunjuk bagi umat manusia di muka bumi ini. “Oleh karena itu, tidak ada
kunci lain membangun peradaban Islam kecuali dengan kembali kepada
al-Quran,” pungkas Rusyi diiringi tepuk tangan membahana dari peserta.
Kajian sempat dihentikan selama 20 menit guna menunaikan shalat
Maghrib. Setelah itu, acara dilanjutkan kembali dengan sesi dialog dan
tanya jawab. Pada sesi ini tiga penanya melontarkan pertanyaan kepada
Uyok. Ikhwan Hakim, mahasiswa baru Universitas al-Azhar menanyakan
tentang hakikat kemajuan Barat saat ini. Ikhwan juga menanyakan sikap
Uyok tentang para pemikir Islam masa kini yang mencoba membangun Islam
dengan cara meniru Barat. Selain Ikhwan, salah seorang peserta lain dari
kajian Al-I’jaz juga bertanya tentang tugas utama manusia sebagai
khalifah yang disinggung dalam QS. al-Baqarah: 30.
Menanggapi pertanyaan Ikhwan, Uyok menyatakan bahwa pencapaian Barat
di masa kini merupakan pencapaian yang cukup hebat dan mengagumkan
secara kasat mata. Kendati demikian, seperti keterangan yang ia
sampaikan di awal presentasi, kemajuan Barat adalah kemajuan semu, sebab
tidak didasari pondasi yang kuat yaitu agama. Padahal, agama memiliki
peran penting dalam pembangunan suatu bangsa. Oleh karena itu, Uyok
menyatakan ketidaksetujuannya terhadap opini beberapa pemikir Islam masa
kini yang mencoba untuk membangun Islam dengan seratus persen meniru
Barat, sebab Islam berbeda dengan Barat. Islam memiliki pedoman yang
sangat jelas dalam mengatur segala hal, yaitu al-Quran dan Hadis. “Islam
memang tidak pernah menolak untuk berinteraksi dengan siapapun, namun
kita tidak bisa mengadopsi secara mentah-mentah nilai-nilai kehidupan
Barat ke dalam agama kita. Nilai-nilai mereka selalu berubah sesuai
dengan keinginan hawa nafsu mereka, sedangkan nilai-nilai agama kita
tidak pernah mengenal kata evolusi,” tuturnya.
Selanjutnya, Nisaul Mujahidah, anggota Kajian Nun Center bertanya
kepada Rusyi mengenai peran kekuasaan dalam membangun peradaban. Nisaul
melihat, peradaban Barat yang menguasai dunia saat ini didominasi oleh
negara-negara Yahudi, seperti Israel dan Amerika Serikat. Selain Nisaul,
Saeful Luthfy, koordinator Kajian Al-I’jaz, juga melontarkan beberapa
pertanyaan kepada Rusyi. Pertama, melihat fenomena beberapa golongan
Islam yang begitu mudah menghukumi sesuatu dengan label haram, bid’ah
dan sebagainya, mengapa hal tersebut bisa terjadi? Apakah yang demikian
ini termasuk bagian dari kemunduran Islam? Kedua, Saeful bertanya apakah
konsep “khilafah” yang pernah diterapkan di masa Rasulullah dan
beberapa masa setelahnya perlu diterapkan kembali di masa sekarang demi
mencapai kemajuan yang pernah diraih Islam di masa lalu? Pertanyaan
Saeful ini kemudian disambung oleh Kharisma, salah satu peserta lain.
Kharisma bertanya apakah negara-negara yang tidak menerapkan konsep
tersebut bisa dikategorikan ke dalam golongan dhalimun, fasiqun, kafirun seeprti yang dijelaskan dalam QS al-Maidah?
Menjawab pertanyaan Nisaul, Rusyi mengatakan bahwa adanya kekuasaan
dalam membangun peradaban memang diperlukan, namun keberadaannya tidak
bersifat mutlak. Menurut Rusyi, pembangunan peradaban dimulai dari
pembangunan individu. “Untuk membangun peradaban, kita harus membentuk
pribadi terlebih dahulu. Kemudian, pribadi yang unggul inilah yang akan
membangun bangsa dan peradabannya,” tutrnya. Adapun pertanyaan Saeful
mengenai konsep khilafah, Rusyi menyatakan bahwa konsep
tersebut belum tentu tepat untuk diterapkan pada masa ini, sebab kondisi
masyarakat sekarang berbeda dengan kondisi masyarakat saat itu. Namun,
meski demikian, Rusyi menyatakan bahwa upaya untuk mendirikan khilafah
boleh-boleh saja diupayakan, misalnya dengan mencoba untuk menerapkannya
dalam sebuah komunitas kecil terlebih dahulu. “Bila lingkungan tersebut
bisa menerima konsep khilafah, silakan diterapkan. Tapi bila ditolak, kita tidak bisa memaksakan konsep tersebut diaplikasikan,” tuturnya.
Sementara terkait pertanyaan Kharisma Ekhsan yang menanyakan maksud
dari kata kafir, fasik dan dhalim bagi mereka yang tidak menegakkan
hokum-hukum Allah dijawab oleh para anggota sKajian Al-I’jaz dan Nun
Center yang hadir waktu itu. Ahamd Sadzali, salah satu anggota senior
yang juga koordniator Nun Center menyatakan bahwa pemahaman yang mudah
mengafikan orang lain ini diakibatkan oleh penafsiran yang tidak tepat
dalam memahami ayat dan ajaran-ajaran Islam. Sadzalimengaskan bahwa
ketiga ayat tersebut memiliki maksud dan makna yang berbeda-beda,
sehingga penerapannya pun tidak bisa disamakan. Tafsir kata dhalimun dalam ayat ditujukan kepada mereka yang tidak menerapkan hokum Allah karena tidak mengetahuinya; kata fasiqun dimaksudkan
untuk mereka yang mengetahui dan memahami hukum Allah, namun tidak bisa
menerapkannya karena ada factor-faktor yeng menghalangi; dan kata kafirun ditujukan
kepada mereka yang tidak melaksanakan hukum Allah karena mengingkarinya
dengan sengaja, meskipun meraka tahu dan bisa menerapkannya. Lebih
lanjut, Sadzali mengatakan bahwa fenomena untuk menerapkan sistem
khilafah ini membuktikan bahwa umat Islam masih memiliki keinginan untuk
bangkit dari keterpurukan yang mereka alami saat ini. Dia juga
mengatakan bahwa fenomena-fenomena seperti itu bukanlah bagian dari
kemunduran Islam, melainkan sebuah potret kegagalan dalam berdakwah.
Selain Sadzali, salah satu senior Nun Center lain yang juga
menanggapi pertanyaan Saeful dan Kharisma adalah Angga Prilakusuma.
Angga mendukung jawaban Rusyi yang menyatakan bahwa pembangunan
peradaban berawal dari individu. Pembangunan sebuah bangsa, menurut
Angga, diawali oleh sistem up bottom atau bottom up. Sistem up bottom merupakan sistem pembangunan dari atas ke bawah, atau dari penguasa ke rakyat. Namun, pembangunan yang menggunakan sistem up bottom cenderung
rapuh dan mudah diruntuhkan. Hal ini, menurut Angga, sesuai dengan
pernyataan Hugo Chavez, Presiden Venezuela, yang mengatakan: “Kamu bisa
membangun singgasana dari bayonet, tapi kamu tidak akan bertahan lama
mendudukinya.” Angga kemudian menambahkan bahwa sistem bottom up memang
pernah diterapkan di zaman Rasulullah SAW dan terbukti berhasil.
Kemudian pada masa-masa setelah Rasulullah SAW wafat, yang diterpakan
adalah sistem up bottom. Sedangkan terkait masalah penerapan khilafah untuk saat ini, menurut Angga, memang tidak bisa. Dalam pandangannya, penolakan terhadap konsep khilafah bukanlah masalah besar yang harus dihukum dengan kekafiran, sebab menolak khilafah tidak berarti menolak syariat.
Sementara itu, Jauhar Ridloni Marzuq, salah satu senior Kajian
Al-I’jaz melontarkan hal senada dengan Angga. Dalam kacamata Jauhar, khilafah hanyalah
sebuah sistem yang lahir karena lingkungan pada masa itu
membutuhkannya. Oleh karena itu, penerapan sistem ini tidak bersifat
mutlak, karena al-Qurna tidak menjelaskan suatu sistem tertentu yang
harus diterapkan untuk membangun suatu pemerintahan. Jauhar menekankan
bahwa sistem pemerintahan Islam sebenarnya menitikberatkan pada dua hal
utama, yaitu konsep syura dan keadilan. Syura bearti melibatkan
seluruh elemen masyakrat untuk membangun tatatan pemerintahan,
sedangkan keadilan berarti memberikan hak kepada mereka yang berhak,
tanpa kedhaliman. Setelah dua hal itu terpenuhi, umat Islam dibebaskan
untuk menerapkan sistem pemerintahan apa saja yang terbaik untuk mereka,
termasuk konsep civil society yang sedang berkembang dewasa ini. Konsep civil society,
bagi Jauhar tidak tidak masalah untuk diterpakan dalam Islam, selama
dua unsur yang disebutkan sebelumnya terpenuhi, dan tidak melanggar
hukum-hukum Allah yang telah Dia tetapkan.
Tidak ada komentar: