Membentuk Pribadi Istimewa Berjiwa Mulia
***
Jiwa merupakan unsur paling penting dalam
diri seseorang, yang menjadi salah satu objek terpenting dalam
pembahasan tasawuf maupun filsafat, karenaialah yang menentukan kebahagiaan suatu
individu ataupun penderitaannya dalam hidup. Jiwa yang menuntun dan membawa manusia
menuju jalan kebenaran atau kebatilan, karena segala perbuatan, ucapan,
pikiran, dan perasaan timbul melaui jiwa. Menurut al-Farabi tentang keabadian jiwa,
ia membedakannya menjadi dua, yaitu jiwa kholidah dan jiwa fana.
Jiwa khalidah adalah jiwa yang penuh kemuliaan, jiwa yang mengetahui kebaikan
dan perbuatan baik, serta dapat melepaskan diri dari ikatan jasmani, tidak akan
hancur meskipun badannya hancur, dan jiwa ini berada dalam tingkat ‘akal mustafad’.
Sedangkan jiwa fana adalah jiwa kebodohan, tidak sempurna karena tidak dapat
melepaskan diri dari sifat materialistis, akan hancur dan musnah seiring hancurnya
badan.
Kata jiwa dalam bahasa arab adalah an-nafs,
yang juga dapat berarti hawa nafsu, karena jiwa dan nafsu merupakan dua unsur
yang tidak bisa dipisahkan. Nafsulah yang menciptakan gairah untuk melakukan suatu
pekerjaan. Itu sebabnya mengapa malaikat
Tidak ada pekerjaan
selain menyembah dan mangabdikan dirinya kepada Allah SWT, tidak lain karena mereka
tidak memiliki nafsu. Inilah perbedaan antara malaikat dan manusia, keduanya sama-sama
meliliki akal, namun hanya manusia yang memiliki nafsu atas kehendak Allah. Tapi,
nafsu juga dimiliki oleh selain manusia, yaitu hewan, akan tetapi hewan tidak memiliki
akal. Itulah sebabnya mengapa manusia ditempatkan di derajat yang paling tinggi
dibandingkan malaikat dan hewan, juga sebagai khalifah di muka bumi ini.
Banyak sekali ulama yang membahas tentang hal ini, Rasulullah pun pernah
bersabda: “Al-Mujahid man jahada nafsahu fil-laahi ‘Azza wa Jalla.”(Mujahid
adalah seseorang yang melakukan jihad di jalan Allah.), Hadits Shahih yang
diriwayatkan Imam Tirmidzi dalamSunnan-nya. Jadi apabila manusia menang atas
nafsunya, maka ia lebih menyerupai malaikat, bahkan lebih mulia. Namun, apabila
kalah oleh nafsunya, ia pun lebih menyerupai binatang, dan bahkan lebih hina.
Di zaman modern ini, manusia dihadapkan
dengan berbagai macam godaan maupun goncangan yang sangat berat, yaitu melawan hawa
nafsu yang berdampak kepada kejiwaannya. Berbagai media banyak menyediakan hal-hal
yang dapat merusak kesucian jiwa, hingga sudah sangat banyak masyarakat yang
terpedaya oleh paham materialisme, kapitalisme dan lain sebagainya yang
membuatnya sibuk akan hal-hal duniawi yang fana, yang selalu meliahat sesuatu hanya
dari segi eksternal bukan internal, dari segi kuantitas bukan kualitas. Mereka hanya
mengejar kesenangan jasmani, yang pada hakikatnya tiada kesenangan dan kebahagiaan
yang lebih tinggi martabatnya dibandingkan dengan kenikmatan ruhani.
Goncangan ini menimbulkan kecemasan dan
keresahan bagi suatu Bangsa. Terbukti bahwa pemerintah saat ini mulai giat mempersiapkan
dan merancang sistem pendidikan yang berbasis karakter. Sistem yang bertujuan untuk
membentuk generasi muda bangsa yang berakhlak mulia. Karena pemuda merupakan penyongsong
agama, bangsa, dan negara yang cerah. Dan hanya pribadi yang berjiwa istimewalah
yang didambakan oleh setiap bangsa, dan dari mereka pula bangsa dapat dikatakan
berkembang atau maju.
Salah seorang ulama dan sastrawan Indonesia, Prof. Dr.
H. Abdul Malik Karim Amrullah atau akrab dikenal dengan sebutan Buya Hamka ini,
menulis buku pada tahun 1950 yang berjudul Pribadi, (Jakarta: Bulan-Bintang
1982, cet. ke-10), menurut beliau seseorang dihargai karena kepribadinya, bukan
karena badannya. Beliau menulis: “Dua puluh ekor kerbau pedati,
yang sama gemuknya dan sama kuatnya, sama pula kepandaiannya menghela pedati,
tentu harganya tidak pula berlebih kurang. Tetapi 20 orang manusia yang sama tingginya,
sama kuatnya, belum tentu sama harganya. Bagi manusia, pribadinya. Berilmu saja
walaupun bagaimana ahlinya dalam suatu jurusan, belum tentu berharga, belum tentu
beroleh kekayaan dalam hidup, kalau sekiranya bahan pribadinya yang lain tidak lengkap,
tidak kuat, terutama budi dan akhlaknya. ”Dari kutipan di atas, beliau tidak menafikan
fungsi fisik yang kuat dan sehat, namun beliau lebih menekannkan kefungsian akhlak,
yang mana lebih tinggi nilainya dan yang lebih menentukan harga seseorang.
Akhlak merupakan cerminan dari jiwa,
apabila sehat jiwanya maka baiklah akhlaknya, dan sebaliknya, apabila rusak jiwanya,
maka akhlaknya pun akan buruk. Dan untuk menjadikan jiwa sehat, menurut Fakhruddinar-Razi,
manusia harus mengedepankan wahyu Allah dan akalnya dibanding hawa nafsunya. Dalam
proses ini, seseorang harus berusaha keras untuk mendalami ilmu pengetahuan dan
tidak boleh hanya mengikuti hawa nafsunya semata, namun ia harus mendapatkan kesenangan
dan kebahagian ruhani terlebih dahulu.
Allah berfirman: “Wahai jiwa yang
tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka
masuklah ke dalam jamaah hamba-hamba-Ku. Dan masuklah ke dalam surga-Ku.” (Q.S:
Al-Fajr, 27-30). Dari ayat ini disimpulkan bahwa hanya hamba-hamba Allah yang
istimewalah yang akan dimasukkan ke dalam surga-Nya yang kekal, yaitu hamba
yang berjiwa mulia, jiwa yang selalu mengedepankan kebahagiaan dan ketenangan ruhani
dibanding jasmani, yaitu mendambakan ridha Allah SWT.
WallahuA’lam.
Oleh: Fairuz_Hammurabbi HR
Tidak ada komentar: