Menurut
al-Zurqani dalam Manahil Irfan
menjelaskan, bahwa naskh dalam al-Quran adalah suatu proses
penghapusan hukum syar’i dengan dalil syar’i yang datang setelah itu.
Penghapusan ini adalah pencabutan kewajiban atas mukallafin. Bukan
penghapusan dengan arti yang sebenarnya, karena sesuatu yang pernah terjadi
tidak bisa dihapus. Sedangkan hukum syar’i adalah sesuatu yang diturunkan oleh
Allah SWT yang ditunjukkan kepada manusia, baik itu berupa suatu hal yang
bersifat perintah, larangan, dan pilihan. Dalil syar’i adalah wahyu yang
diturunkan Allah SWT dalam artian luas, baik yang terbaca maupun tidak, ini
mencakup al-Quran dan Sunnah.
Mayoritas
ulama mempunyai definisi yang berbeda-beda dengan makna yang hampir sama,
perbedaan hanya terdapat pada lafal atau tata letak bahasanya. Namun ada
beberapa perbedaan antara para ulama klasik dan kontemporer,, perbedaan ini
terletak pada penerapan definisi tersebut. Ulama klasik berpendapat bahwa,
naskh dalam al-Quran penghapusan hukum syar’i dengan dalil syar’i yang datang
setelah itu. Namun ulama klasik mengartikan naskh dengan memasukkan ke dalam
berbagai pengertian, seperti: pengkhususan mukhassis dengan suatu hal
yang umum (‘am), pembatasan (taqyid) terhadap hal yang bebas atau
luas (muthlaq), penjelasan (bayan) terhadap hal yang global (mujmal).
Abu Zahroh berkata dalam bukunya: mayoritas ulama klasik dari kalangan
Sahabat, Tabi’in dan Tabi’ Tabi’in memahami naskh dalam bentuk
pengkhususan (takhsis) pada suatu hal yang umum (‘am). Pembatasan
(taqyid) pada suatu hal yang bebas (muthlaq). Hingga pengecualian
(istitsna’) mereka sebut dengan penghapusan (naskh). Sedangkan
ulama kontemporer lebih mempersempit batasan-batasan pengertian naskh, sehingga
suatu hukum yang dihapus benar-benar dihapuskan oleh dalil yang syar’i dan
datang setelahnya.
Dari
beberapa definisi, penulis mengambil pendapat al-Zurqani dalam mendefinisikan
naskh, definisi ini bisa diterapkan dengan beberapa poin: pertama,
mansukh atau hukum yang dihapuskan berupa hukum syar’i. kedua, dalil
yang menghapus hukum sebelumnya berupa dalil syar’i. ketiga, dalil yang
menghapus itu datang setelah dalil pertama (yang dihapus). keempat,
adanya pertentangan antara dua dalil dalam satu pokok masalah.
Urgensi
pembahasan Nasikh Mansukh
Sebuah
kisah yang diriwayatkan oleh Abi Abdil Rahman menceritakan bahwa pada suatu
hari, Ali bin Abi Thalib memasuki sebuah masjid di Kufah. Di masjid tersebut,
ia melihat seorang lelaki yang sedang menjelaskan perkara agama kepada
gerombolan orang-orang di masjid. Ketika Ali melihat orang tersebut mencampur
adukkan perintah dan larangan. Ali pun bertanya kepadanya: “Apakah kamu tahu
Nasikh dan Mansukh?” Lelaki itu menjawab, “Tidak”. Mendengar jawaban demikian,
Ali berkata kepadanya: “(Kalau demikian) berarti engkau telah celaka dan
mencelakakan (orang lain).”
Hadis
ini menunjukkan akan urgensi Nasikh dan Mansukh. Beberapa sebab mempelajari
Nasikh Mansukh, Pertama, karena objek kajiannya yang luas dan panjang, sehingga
memiliki beragam metode dan cabang kajian. Kedua, selain itu permasalahan ini
memiliki bahasan yang sangat rumit dan mendalam yang sering menjadi
perselisihan antar ahli fiqh dan pengkaji studi al-Quran. Ketiga, bahwa
seseorang yang mempelajari Nasikh-Mansukh secara mendalam akan mampu membuka
tabir sejarah penerapan hukum Islam, sehingga mereka mampu mengetahui
kebijaksanaan Allah dalam memberikan pembelajaran terhadap umat manusia.
Keempat, pondasi penting dalam memahami ajaran Islam dan mengetahui hukum-hukum
yang benar, terutama dalam permasalahan dalil-dalil yang dari luarnya terlihat
bertentangan
Mengidentifikasi
berarti menentukan atau menetapkan suatu identitas. Maka identifikasi naskh
dalam al-Quran harus benar-benar diperhatikan. Manna’ Qattan menjelaskan
berbagai macam cara untuk mengetahui Nasikh dan Mansukh: Pertama, Adanya
suatu riwayat yang jelas dari Nabi Muhammad SAW atau dari Para Sahabat. Kedua,
Ijmak umat bahwa ayat ini yang telah terhapus (mansukh), dan ayat ini
yang menjadi penghapusnya (nasikh). Ketiga, Mengetahui sejarah
ayat yang datang terlebih dahulu dan
ayat yang datang setelah itu (asbab nuzul). Tidak dapat dikatakan naskh
atas dasar ijtihad, atau perkataan seorang mufassir.
Pembagian
Naskh menurut sumbernya (mashdar)
menjadi empat bagian pokok: Pertama, Penghapusan al-Quran dengan al-Quran
(naskh al-Quran bi al-Quran). Metode penghapusan al-Quran dengan al-Quran
adalah salah satu metode yang disetujui dan diperbolehkan oleh para Ulama.
Karena ayat dalam al-Quran adalah suatu keutuhan, ayat al-Quran semuanya mutawatir
karena bersumber langsung dari Allah SWT. Jika ayat al-Quran bisa dihapuskan
maka selayaknya dihapus dengan ayat al-Quran itu sendiri.
Kedua,
Penghapusan al-Quran dengan Hadis atau Sunnah (naskh al-Quran bi al-Sunnah),
Metode ini dibagi menjadi dua bagian: a. Penghapusan al-Quran dengan Hadis Mutawatir
(naskh al-Quran bi al-Sunnah al-Mutawatir), dalam metode ini terjadi
perbedaan pendapat dalam praktiknya. Menurut Imam Malik, Imam Hanafi, dan Imam
Ahmad mereka berpendapat bahwa penghapusan al-Quran dengan Hadis Mutawatir
diperbolehkan. Pendapat kedua yaitu Imam Syafi’i dan Ahlu Dhohir berpendapat
bahwa Hadis Mutawatir tidak bisa menghapus ayat al-Quran. Karena tidak ada lagi
yang lebih mulia daripada al-Quran itu sendiri. b. Penghapusan al-Quran dengan
Hadis Ahad (naskh al-Quran bi
al-Sunnah al-Ahadiyyah), Hadis Mutawatir derajatnya lebih tinggi daripada
Hadis Ahad, dan mayoritas Ulama tidak setuju dengan metode penghapusan ayat al-Quran
dengan Hadis Ahad.
Ketiga,
Penghapusan Hadis atau Sunnah dengan al-Quran. Mayoritas Ulama setuju dengan
metode ini. Al-Quran lebih kuat dari Hadis, maka al-Quran bisa menghapus hukum
yang terkandung dalam suatu Hadis.
Keempat,
Penghapusan Hadis dengan Hadis, metode ini
dibagi menjadi empat bagian: 1. Penghapusan Hadis Mutawatir dengan Hadis
Mutawatir. 2. Penghapusan Hadis Ahad dengan Hadis Ahad. 3.Penghapusan Hadis
Ahad dengan Hadis Mutawatir. 4. Penghapusan Hadis Mutawatir dengan Hadis Ahad. Tiga
bagian pertama menurut logika dan syariat dibolehkan dan bisa terjadi. Bagian keempat
yaitu penghapusan hadis mutawatir dengan hadis ahad banyak ditentang oleh para
ulama, dikarenakan hadis mutawatir lebih kuat daripada hadis ahad.
Pembagian
Naskh ditinjau dari lafal dan praktiknya
dibagi menjadi tiga bagian: Pertama, Penghapusan hukum dan ayat
(naskh al-Hukm wa al-Tilawah ma’an), contoh, terdapat pada salah satu
Riwayat Sayyidah Aisyah mengatakan: al-Quran telah menjelaskan bahwa jika
seorang bayi telah menghisap sepuluh isapan yang diketahui maka akan menjadi
mahromnya. Kemudian ayat ini dihapus dengan lima isapan yang diketahui telah
menjadikan bayi tersebut mahrom dari ibu susuannya.
Kedua,
Penghapusan Ayat dan Hukum masih tetap ada (naskh al-Tilawah ma’a baqoi
al-Hukm), contoh: ayat tentang hukum rajam. Hukum rajam dijatuhkan kepada
para pezina baik laki-laki maupun perempuan yang telah menikah. Ayat ini tidak
tercantum dalam mushaf utsmani, kecuali jika kita
merujuk kepada riwayat-riwayat.
Ketiga,
Penghapusan Hukum dan Ayat masih tetap ada (naskh al-Hukm ma’a baqoi
al-Tilawah). Contoh dalam surat al-Baqarah ayat240 yang dihapus dengan ayat
234. Ini dalam permasalahan masa ‘iddah. Pada ayat pertama dikatakan bahwa masa
iddah adalah satu tahun, kemudian datang ayat setelahnya yang menjelaskan bahwa
masa iddah adalah 4 bulan dan 10 hari. Dalam contoh ini terdapat perdebatan,
dua ayat ini bisa termasuk dalam pengkhususan (takhsis) bukan naskh. Jika
wanita hamil maka masa iddahnya adalah satu tahun, dan masa iddah bagi yang
tidak hamil adalah 4 bulan 10 hari. Namun ayat pertama tidak bisa digunakan
sebagai dalil bagi masa iddah yang hamil, karena habisnya masa iddah bagi orang
yang hamil adalah ketika ia melahirkan ini terdapat pada surat al-Thalaq ayat 4,
dan bukan satu tahun.
Perdebatan Ulama seputar Nasikh-Mansukh
Mengikuti pembagian
al-Qaradhawi, kita bisa mengelompokkan pandangan ulama seputar Nasikh-Mansukh
ke dalam tiga kelompok besar:
Pertama,
kelompok yang mengatakan adanya naskh dalam al-Quran, kelompok ini memperluas
makna naskh tersebut, sehingga sangat mudah sekali berkata bahwa ayat ini
dihapus dengan ayat ini dalam surat ini.
Kedua,
kebalikan dari kelompok pertama, bahwa kelompok ini menginkari adanya naskh
dalam al-Quran secara keseluruhan. Ini adalah perkataan Abu Muslim
al-Ashfahani, dan Imam Razi. Ulama kontemporer seperti Muhammad Abduh, Khudri
Bek juga berkata demikian.
Ketiga,
pendapat yang tengah, yaitu dikatakan naskh jika dilandaskan dalil yang benar
dan jelas. Sehingga akal bisa lebih menerima dan hati tenang. Pendapat ini yang
banyak diambil oleh para ulama, selain tidak menolak naskh mentah-mentah namun
menerima dengan harus adanya dalil yang kuat serta tidak terlalu mudah menggolongkan
suatu ayat sebagai ayat yang terhapuskan.
Syubhat
tentang Nasikh dan Mansukh
Penghapusan
dalam al-Quran itu ada, maka Allah SWT menghapus suatu hukum dan digantikan
dengan hukum lainnya, jika memang terjadi penghapusan dalam al-Quran maka Allah
SWT tidak mengetahui isi dalam al-Quran itu sendiri. Sedangkan telah dinyatakan
bahwa al-Quran itu kitab yang benar hingga akhir zaman, dengan adanya
penghapusan ayat dalam al-Quran berarti menghapus sifat al-Quran tersebut.
Maka
dijawablah syubhat tersebut: Adanya penghapusan al-Quran itu sama sekali tidak
mengubah sifat Allah SWT yang Maha Mengetahui. Sesungguhnya Allah SWT telah
mengetahui bahwa hukum yang dihapus itu terbatas waktunya dan bukan hingga
akhir zaman. Dibalik semua ini pasti banyak hikmah yang ada. Penetapan hukum
itu ada yang terjadi secara bertahap atau yang sering kita sebut Tadarruj. Proses tadarruj ahkam seperti
contoh hukum khamr. Pada zaman dahulu khamr dibolehkan dalam
Islam namun hukum tersebut dihapuskan secara perlahan agar orang Arab tidak
kaget untuk menerimanya.
Hikmah
adanya naskh, Allah SWT menurunkan suatu kejadian tentu ada hikmahnya, seperti
naskh. Allah SWT menghapus seluruh agama yang datang sebelum agama Islam, ini
menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang komplit. Seluruh urusan dunia dan
akhirat semua diatur dalam Islam, Islam mengatur kehidupan manusia dari bagun
tidur hingga tidur lagi. Naskh atau penghapusan sebagian hukum yang ada dalam
Islam juga ada hikmahnya. Beberapa hikmah yang bisa diambil dari Nasikh Mansukh
dalam al-Quran. Ketika dihapusnya suatu hukum yang sulit dan diganti dengan
mudah pertanda bahwa Allah SWT menyangi umatnya. Sedangkan ketika yang mudah
diganti dengan yang sulit, maka ditambahnya pahala bagi yang mengerjakannya.
Hikmah
lainnya, bagi seorang Muslim hendaknya ditanamkan dalam hati kita bahwa ayat
al-Quran antara satu dengan lainnya berkesinambungan, maka dengan adanya ayat
yang dihapus atau menghapus bukan berarti suatu kontra, namun ini adalah suatu
rahmat Allah SWT. Sehingga ketika kita sudah beriman kepada Allah SWT, kita
akan mengikuti apa yang Allah SWT telah turunkan. Hal ini memang sempat dipertanyakan oleh orang-orang
kafir saat itu, namun al-Quran kemudian menjawab bahwa penurunannya yang
berangsur-angsur adalah untuk memantapkan hati Nabi Muhammad, otomatis juga
berdampak pada pemantapan hati kaum Muslimin lainnya. Setelah Nabi wafat, tak ada lagi perubahan
baik berupa pengurangan maupun penambahan dalam hukum Islam dan alasan apapun
untuk mengurangi atau menambah hukum dalam Islam tidak dibenarkan. Ini tanda bahwa Allah SWT menjamin
kebahagian manusia di dunia dan keselamatan mereka di akhirat, karena
Islam datang sebagai solusi dan bukan suatu kesulitan. Wallahu a’lam bi al-Shawab.
Tidak ada komentar: