Cahaya
Rantau
Hembusan angin yang menerpa, alunan ombak yang menyapa, sinar sang
surya yang seakan terus berkelana. Keindahan alam itu, menjadikan hidup ini
lebih bermakna dan terasa. Ya, ku ingin
menjadi seperti angin yang tak terlihat tetapi memiliki peran penting dalam kehidupan semua makhluk. Menjadi ombak yang menghiasi lautan,
serta menyingkirkan kotoran dan sampah yang merusaknya. Menjadi sang surya
yang tak pernah bosan maupun lelah dalam memberikan cahayanya kepada alam
semesta. Aku berada di atas kapal layar yang sedang berlabuh meninggalkan
kampung halaman di sebrang sana, tanah kelahiranku. Kecamuk batin mulai
menghinggapi fikiran. Aku berada pada posisi di mana harus meninggalkan
keluarga tercinta dan sahabat-sahabat tersayang. Di sini mulai terangrangkai
arah langkahku, dari bumi Saburai menuju tanah perantauan, ke bumi majapahit. Mengembara
untuk mencari pengalaman hidup serta menemukan jati diri yang sebenarnya. Tepatnya
aku ingin mengikuti ujian SBNMPTAN ke jenjang perguruan tinggi yang ada di Jawa
Tengah, UIN Sunan Kalijaga.
Terlahir menjadi anak pertama adalah hal tersulit dalam hidup ini. Mempunyai
dua orang adik. Laki-laki dan perumpuan, yang bernama Ahmad Arsya 3 SMA dan
sibungsu Aisyah 2 SMP. Sedangkan aku bernama Kholid, lebih lengkapnya Muhammad
Kholid, mungkin kedua orangtuaku memberi nama ini agar bisa meneladani sifat
Rasulallah SAW, yang senantiasa sabar dan tabah dalam menyebarkan agama Islam.
Tidak hanya itu, sifat tak kenal putus asa dalam menegakkan agama Allah juga
tercantum dalam makna namaku walaupun tidak terlihat,. berharap bisa menjadi seperti
Kholid bin Walid, dialah Saifullah atau Pedang Allah, yang semangat dalam
berjuang untuk membela agama Allah. Ayahku hanyalah seorang petani yang bekerja
tanpa kenal lelah maupun letih dalam mencari nafkah untuk keluarganya. Sedangkan
ibuku adalah motivatorku yang mengajar TPA di kampungku dengan penuh ikhlas serta
sabar. Walaupun kami hanya hidup pas-pasan, dengan memiliki satu sawah dan dua
sapi, tapi kami sangat bahagia dan bersyukur, karena Allah pasti selalu menambahkan
rizkinya kepada hambanya yang senantiasa bersyukur.
Bersanding di samping pegangan besi puncak kapal layar yang sedang berjuang
membawa jiwa ini menuju tempat persinggahan cita-citaku. Berdiri dengan penuh
harap, sembari ku pandangi di sekeliling laut, ombak-ombak yang bergoyang ria diikuti
ikan-ikan yang melompat kesana-kemari. Serta ku nikmati pemandangan bukit-bukit
indah nan hijau. Terbisik janji pada
diri ini, di bawah langit yang luas, di atas laut nan dalam, serta disaksikan
oleh gunung-gunung menjulang tinggi, sembari berkata “Bismillahirrahmanirrahiim, aku pasti bisa menjadi pejuang handal dan dapat dihandalkan, menjadi
sang nahkoda sejati yang tak takut akan ombak maupun batu karang menghadangnya, bisa menjadi mutiara bukan
hanya mahal, tapi juga indah bila dipandang, serta manjadi pemenang bukan
pecundang.”
Seseorang lebih tua dua tahun dariku, membangunkanku dari tidur yang sesaat, seraya berkata “Mas, mas, bangun
mas, kita sudah tiba di negri sebrang.”
Dengan gaya setengah sadar, aku dibuatnya kaget “Owhhhh iya mas, makasih mas Adi Riadi.”
Dialah teman sebangku dalam busku, padahal berharap temenku adalah
seorang bidadari cantik, tapi malah dapat mas Adi Riadi yang sudah bekerja
sebagai karyawan di salah satu perusahaan
Kota Semarang. Akhirnya kitapun pergi menuju bus, untuk melanjutkan perjalanan.
Senja menghilang bintangpun mulai terlihat, menunjukan akan datangnya malam.
Aku dan mas Adi masih saling berbagi cerita satu sama lainya, suatu
ketika mas Adi bertanya kepadaku dengan nada agak sedikit serius “ Mas Kholid
kenapa gak langsung kerja saja seperti saya, dari pada kuliah jauh-jauh hanya menghabiskan
biaya dan ongkos banhkan meyia-nyiakan waktu.”
Seketika itupun bibir ini langsung tersenyum manis kepadanya,
sembari berkata “Ini bukan masalah uang ataupun harta, bukan pula masalah muda
ataupun tua. Tapi ini masalah cita-cita dan masa depan.”
“Maksudnya gimana mas, saya
masih belum paham, toh ujungnya mas nanti juga bakalan kerja, kan?”lanjut mas
Adi.
Akhirnya akupun menjawab
dengan nada tenang sedikit puitis, “Jadilah seperti pohon kelapa, yang mana
semua bagian dari pohon itu bermanfaat. Baik dari buahnya , daunya, batangnya,
bahkan tangkainya sekalipun.”
Sembari ku pegang pundak mas
Adi, seraya berbisik “ Itu mas yang aku mau, bisa memiliki ilmu yang banyak,
serta pengalaman yang beragam, biar bisa menjadi orang yang berguna bagi diri
sendiri, keluarga, orang-orang di sekitar kita, yang pastinya berguna untuk Nusa
dan Bangsa.”
Mas Adipun akhirnya tersenyum senang dengan jawabanku, sembari berkata
“Bener juga kamu Lid, kalau gitu sukses ya untuk ujian SBNMPTAN kamu di UIN
Jogja. Semoga bisa diterima di sana, dan kelak pulang ke kampung halamanmu
dengan segudang ilmu serta dapat membangun Bangsa kita.”
“Aamiin ya Rabb, makasih mas ya atas do’anya.” Jawabku penuh harap
diiringi denagan senang.
Mas Adi bertanya lagi kepadaku “memang cita-cita kamu mau jadi apa
Lid?”
Pertanyaan sama, seperti
yang pernah diberikan guruku. Waktu duduk di kls 3 SMP. Dengan sepontanitas
akupun menjawabnya “Ingin bisa menuntut ilmu di Universitas Al-Azhar, Cairo,
Mesir.”
Mas Adipun terdiam sejenak, sejurus kemudian terucap dari bibirnya
, ”Semoga cita-cita kamu tercapai Kholid.”
Akhirnya kamipun terlelap dalam kantuk karena larutnya malam.
Tiba sudah kaki ini menginjakkan sebuah universitas yang begitu
besar dan megah, universitas itu terletak di pusat kota, Universitas Islam
Negeri Sunan Kali Jaga namanya. Dengan semangat yang membara ku persiapkan
diriku untuk menjadi yang terbaik dalam mengikuti test ini. Lalu, sambil
mencari tempat pelaksanaan ujian tersebut. Kemudian berkeliling dari ujung
kampus keujung kampus lainnya. Setelah
sampai di tempat ruang ujian, tibalah saatnya untuk peperangan dimulai, sembari
berdo’a kepada Sang Kholik yang maha perkasa lagi kuasa “Ya Allah, ya Rabbi,
berikanlah yang terbaik dalam mengikuti ujian seleksi masuk Universitas ini,
kalau memang baiknya diberi kelulusan maka luluskanlah. Tapi kalau sebaliknya,
baiknya tidak disini, maka jangan
luluskan. Amiin.”
Waktu terus berputar bagai roda pedati, menggilas masa merubah
zaman. Detik berganti menit, menit berganti jam, jam berganti hari, rembulan pun
menghilang menjadi matahari. Pengumuman yang sekian lama telah dinantikan dengan
segenap harapku, akhrinya tiba juga. Hati ini mulai dag-dig-dug, mulutpun mulai
berkomat-kamit mengucapkan kata-kata dzikir. Setelah tiba di papan pengumuman,
aku mulai mencari nomor ujian dan namaku, dari atas kebawah, dari samping
kesamping bahkan sebaliknya. Perasaan yang kian mulai gelisah tak karuan, karena
nama dan nomor ujian yang tak tertempel di papan pengumuman, kekecewaan teramat
mulai menyelimmuti, seakan terjatuh kedalam jurang nan dalam. Mungkin ini
adalah jawaban Allah SWT untukku, karena aku yakin, Sang Kholik mempunyai
rencana yang indah untuk hidup ini.
Tiiiit.... Tiiiit.... Di tengah-tengah kesedihan yang melanda
tiba-tiba HPku berbunyi. Ternyata SMS dari adikku Arsya.
Assalamualikum mas. Penyakit ayah kambuh mas, semakin parah.
Sekarang ayah di rumah sakit.
Terkejut saja hati ini membaca SMS dari adikku Arsya, bahwa ayah
tercinta kami sedang berada di rumah sakit. Dan di waktu yang sama pula ujian
SBMPTNku tidak lulus. Segera saja kubalas SMSnya tanpa memberi tahu dahulu
tentang keadaanku saat ini.
“ Wa’alaikumussalam, yang sabar
ya dek, kita hanya bisa berdo’a, semoga ayah cepat diberi kesembuhan oleh
Allah. Mas baik-baik saja kok di sini, yang penting pesen mas terus beri
semangat untuk Ibu dan Aisyah.”
“Apa yang harus kulakuan?” bisikku dalam hati.
“Jiwa kosong melayang, terombang
ambing dalam pusaran gelombang, berdo’a tuk sebuah peluang, samapi bertemu
titik jati diri pemenang.” Ucapku pelan
untuk diri yang kian lara, agar terus semangat dalam menjalani hidup ini,
karena setiap musibah dan cobaan pasti ada hikmahnya.
“ Assalamualikum,” sapa seorang pemuda
yang sebaya denganku. Dengan suara lembut, selembut pasir putih di pantai,
diiringi dengan senyum yang merekah dari bibirnya.
“ Wa’alaikumussalam Warahmatullahi
Wabarakaatuh,” sahutku sambil menebarkan senyum, walaupun seketika senyum itu
langsung lenyap.
“ kalau boleh tauhu, siapa namanya
mas?” Tanya pemuda itu, dengan nada serius tapi sopan.
“ Nama saya Muhammad Kholid, bisa
dipanggil Kholid. Datang dari Negri Saburai, Kota Lampung namanya.” Jawabku
dengan tenang, sembari berkata lagi kepadanya “ Mas sendiri siapa namanya, dan
dari mana?”
“ Malikul Harbi, bisa dipanggil
Malik. Aku dari Salatiga mas, sekitar 3 jam dari UIN Jogja.” Jawabnya dengan
nada medok khas jawanya. Sesaat kemudian melanjutkan kata-katanya “ gimana
testnya mas, diterima tidak?” sambil matanya menatap tajam kearahku.
“ Alhamdulillah mas, saya teleh
mengikuti test ini semampu dan sebisa saya, walaupun__” terputus saja
omonganku, karna Malik langsung menyambungya.
“ Walaupun apa mas? Tidak lulus
ya,…” dengan gaya bercandanya, sambil memegang pundakku. Seraya berkata lagi “
Aku juga gak lulus mas, mungkin Allah punya rencana lain untuk kita mas.”
“ Amiin ya Rabb. Karna saya yakin
Sang Kholik tidak akan salah dalam penempatanya, dan percayalah bahwa
rencananya jauh lebih indah untuk kita. Sebab ini semua bukanlah akhir dari
segalanya.” Jawabku lantang kepada Malik, seakan tidak terjadi apa-apa.
“ Sip mas, aku setuju dengan jawaban
seperti ini. Kalau gitu, kita harus lanjutkan perjuangan kita. Allah hu akbar.”
Sejurus kemudian berkata lagi “ Memang mas habis ini mau lanjut kemana?”
“ Belum tahu nie, masih bingung dari
tadi, soalnya saya maunya kuliah di Jawa, gak mau balik lagi ke Lampung. Karna
pendidikan di sini condong lebih baik dari tempat saya mas, dari segi keagamaan
serta keilmuanya.” Jawabku pada Malik.
Allahu akbar……Allahu akbar…..
Kumandang azan tiba-tiba menghentikan perbincangan panjang kami, karna telah dipanggil oleh Tuhan kami untuk
melaksanakan sholat ashar. Tak lama kemuadian kami langsung menuju masjid UIN
Suanan Kalijaga. Tanpa adanya komando langsung menuju tempat wudhu, tuk
membasuh anggota wudhu dengan mata air surga. Entah berapa lama aku bersujud
dan bermunajad memanjatkan do’a cinta kepada Illahi Rabbi. Hingga tak menyadari
para jamaah telah hijarah meninggalkan masjid.
Terasa kesunyian, hanya
hatiku yang masih tertunduk mengharapkan sinar dari Sang Kekasih (Allah) tuhan
semesta alam, serta berdo’a untuk ayahku tercinta agar lekas cepat diberi
kesembuhan. Mengarungi samudra perjuangan, berharap ombak tidak menghancurkan
perahuku, angin tidak merobek layarku. Hingga pada akhirnya aku dapat meraih
semua cita-citaku. Dan bisa menjadi perantau yang sukses di dunia maupun
akhirat. Tak terasa waktu telah menunjukan jam 4 sore, akupun segera berdiri
berjalan ke arah pintu keluar masjid, seketika fikiranku tertuju pada sebuah
nama yang baru kukenal, Malik. Tanpa fikir panjang aku langsung berbalik
kebelakang, dan ternyata ku dapati sosok Malik yang sedang tertunduk. Di
tanganya memegang butiran tasbih dan terkalung di lehernya sorban berwarna
putih. Tidak lama kemudian, dia berdiri menghampiriku, hingga raut wajahnyapun
tampak jelas dari pandangan mata ini, lalu ia menyapaku dengan senyuman yang
mengalun indah.
“ Sudah lama nunggu aku mas,” Malik
menyapaku disertai langkah kakinya yang menari-nari di atas permadani hingga
sampai ke arahku.
“ Enggak kok Lik, saya juga baru
selesai, gimana kelanjutan cerita kita?” tanyaku kepadanya.
“ Masalah kuliah tho mas, santai wae
mas, kalau aku mau lanjut di STAIN Salatiga aja. Biar dekat dari rumahku, 1
minggu lagi ujian masuknya.” Jawab Malik dengan nada khas jawanya.
“ Masih bisa daftar gak Lik, aku mau
ikut ujianya. Biar cita-citaku tercapai kuliah di tanah jawa ini dan tidak
pulang hanya dengan kegagalan.” Lanjutku kepadanya.
“ Insya Allah masih mas, kalau gitu
habis ini sampean ikut aku ke Salatiga, nanti tak ajak ke Ma’had STAINnya. Biar
nanti mas langsung bisa langsung cari tau tentang ujianya, dan bisa tinggal
dulu di sana,” ucap malik kepadaku.
“Sungguh Allah maha perkasa
lagi kuasa. Aku dipertemukan dengan
seseorang yang baik hati sekligus sholih. Semoga saja ini awal jalanku menuju
sebuah kesuksesan, bisa menimba ilmu di Negri Majapahit ini.” Bisikku dengan
tenang dalam hati.
“ Ayo mas, kita berangkat.” Ajak
Malik dengan semangat.
“ Oke kalau gitu, aku ikut kamu.
Syukron ya, sudah mau bantu saya Lik,” jawabku padanya yang tidak kalah
semangatnya.
Suasana Ma’had STAIN Salatiga yang
tenang lagi nyaman mulai terasa, dengan satu mushola di ujunnya, bersampingan
dengan rumah Bapak Pengasuh, dan dua gegung panjang berisi setiap gedungnya 5
kamar. Akupun mulai mencari tentang kabar ujian dan apa saja yang harus
dipelajari. Setelah semua telah tercapai, saatnya tancap gas untuk maju satu
langkah kedepan, dengan terus belajar dan belajar agar kesalahan yang pertama
tidak terulang untuk kedua kalinya.
Sang suryapun telah terbit denagn
sinarnya yang mencubit-cubit pipi ini, seakan memberikan isyarat bahwa hari ini
adalah hari istiewa untukku, sebab ujian test masuk STAIN Salatiga akan segera
dilaksanakan. Tapi sebelum itu, kusempatkan diriku tuk berdo’a sejenak dalam
sujudku di sholat duha, meminta pada Illah Rabbi supaya semua berjalan dengan
lacar serta baik, dan supaya ayahku cepat diberikan kesembuhan. Setelah tiba di
ruang ujian segera kuselesaikan test ini dengan hati-hati, jangan samapi ada
satu pertanyaanpun yang tidak terjawab, apalagi sampai tertinggal.
Akhirnya, pengumumanpun telah tiba. Ting,…ting…
suara HPku berdering, ternyata ada panggilan dari sahabatku Malik, langsung
kuangkat saja dengan cepat “ Assalamualikum Lik, gmn kabarnya, sudah lama kita
tak berjumpa semenjak satu minggu sebelum ujian samapi sekarang pengummuman.”
Cereosku cepat diiringi dengan senyum.
“ Baik kok mas, maaf kalau aku gak
ngasih kabar. Soalnya aku gak menggagung dan disisi lain lagi focus juga, biar
bisa lulus mas. Sekarang samapean di mana, ayo kita lihat hasil test kita.”
Jawabnya yang tak kalah cepatnya.
“ Saya masih di Ma’had Lik, sebantar
lagi mau kekampus. Kalau gitu kamu tunggu saja di dekat papan pengumuman.”
Lanjtku padanya.
“ Oke-oke mas, tak tunggu sampai
bertemu ya,” kata Malik tegas.
Langsung saja kaki ini mengarah pada
papan pengumuan, seraya terlihat dari kejauhan sosok Malik yang sedang
menungguku. “ Malik,” Sapaku keras dengan teriakan.
“ Ya mas. Ayo sini, bakalan gak
kecewa deh, karna kita lulus.” Sambut Malik dari kejauhan.
“
Yang bener Lik,” sambil berjalan kearahnya dengan langkah yang cepat.
Dan setibanya di sana, ternyata
benar. Alhamdulillah aku lulus.
Tidak ada komentar: