PERAN PEREMPUAN
DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN
Oleh: Fitri Fauziah Arief
***
Jasa perempuan
dalam kehidupan ini tidak dapat dipungkiri. Keberadaan perempuan menjadi suatu
keniscayaan yang bersifat aksioma, untuk mejadi salah satu penjamin kelestarian
kehidupan melalui mekanisme reproduksi. Di antara indikator yang menguatkan gagasan ini
adalah terdapat pada Surah An-Nisa/4: 1. Rangkaian proses reproduksi manusia
tidaklah semata-mata hasil kerja dari perempuan saja, akan tetapi ia hanya
sebagai wadah pertemuan antara sel perempuan (ovum) dengan sel laki-laki
(spermatozoa), baik secara alamiah maupun dengan bantuan rekayasa genetika,
sehingga terjadilah pembuahan dalam uterus. Dengan begitu, laki-laki pun memiliki
peran aktif dalam menjaga serta melestarikan keutuhan umat manusia.
Menarik untuk
dicermati, bahwa Allah swt menyetarakan derajat antara laki-laki dan perempuan
sebagai unsur kemanusiaan, serta memberikan penghargaan yang sama ketika mereka
melakukan suatu aktivitas ibadah dan amal shaleh. Masing-masing dari keduanya
akan memperoleh pahala apabila melakukan kebajikan, dan tentu sebaliknya,
mendapatkan dosa apabila melakukan keburukan. Hal ini dapat ditemukan melalui
pesan-pesan al-Qur’an, di antaranya adalah Surah An-Nahl/16: 97 dan Gafir/40:
40. Namun begitu, ada perbedaan antara keduanya dalam mewujudkan peran di
wilayah publik maupun domestik. Hal ini sulit dihindari karena beberapa faktor,
antara lain karena perbedaan kodrat dan bahkan perbedaan budaya dimana peran
laki-laki lebih mendominasi hampir disegala aspek.
Terlalu lugu rasanya,
jika hanya memandang sebelah mata terhadap peran, kedudukan, dan aktivitas
perempuan sebagai makluk tak bermakna dan tak berdaya. Perlu direnungkan, ada
jargon yang sudah menjadi adagium dan begitu mudah diucapkan oleh lisan, yaitu
“Dibalik laki-laki sukses ada sosok perempuan yang hebat.” Hemat penulis, sulit
rasanya menolak adagium seperti ini dikarenakan peran perempuan yang sangat
signifikan. Telah banyak diketahui kiprah perempuan dalam berbagai aspek
kehidupan, terutama dalam bidang kesejahteraan sosial dan bahkan peran
perempuan pada komunitas terkecil dalam struktur masyarakat (keluarga)
sekalipun. Sehingga tidak pada tempatnya apabila superioritas pada semua bidang
didominasi oleh laki-laki.
Al-Qur’an pun sebagai
pedoman hidup manusia, ikut berperan aktif dalam mengapresiasi terhadap
perempuan. Mulai dari penamaan sebuah Surah secara khusus yang bermakna
perempuan, yaitu An-Nisa/4, sebaliknya, tidak kita dapatkan Surah khusus untuk
laki-laki (ar-rijal) sebagai antonim dari perempuan (an-nisa),
sampai kepada larangan membuat masalah terhadap mereka. Cermatilah firman Allah
swt pada Surah An-Nisa/4: 19 dan At-Talaq/65: 6-7. Terdapat perintah untuk ber-mu’asyarah
bi al-ma’ruf (berinteraksi dengan baik). Menurut para ahli Tafsir, dalam
ayat ini, adalah dengan memperbaiki pergaulan dengan baik, bukan saja hanya
untuk menggauli (berinteraksi) secara
biologis dengan perempuan yang sudah menjadi istrinya dengan baik (ma’ruf)
ataupun dalam memelihara hak-haknya. Akan tetapi, juga dengan memperbaiaki
pergaulan sehari-hari, baik dalam ucapan maupun tindakan. Sampai kepada, saat
menemukan ketidaksempurnaan pada dirinya, baik dari segi bawaan fisik, cara
bertingkah laku atau yang lainnya, maka bagi para laki-laki (khususnya suami)
untuk bersabar, tidak menjadikan penyebab kebencian pada dirinya, dan tetap
berinteraksi dengan mereka secara baik.
Oleh sebab itu, dari
uraian di atas, maka penulis ingin mencoba menguraikan tentang peran perempuan
dalam perspektif al-Qur’an, dikarenakan perannya yang tidak bisa hanya dipandang
sebelah mata, juga dampaknya yang cukup signifikan bagi kehidupan baik pada
wilayah domestik maupun sosial, dan juga tak kalah pentingnya, ia memiliki peran
sebagai unsur dari keutuhan umat manusia. Namun, dikarenakan pembahasannya yang
begitu luas, penulis hanya terfokus pada peran perempuan dalam keluarga, baik
perempuan selaku seorang istri maupun sebagai seorang ibu.
Peran Perempuan dalam Keluarga
Keluarga merupakan
sebuah komunitas terkecil dalam struktur masyarakat, terdiri dari suami, istri
dan anak-anak. Keluarga (khususnya orangtua) sebagai komunitas pertama yang
ditemui seorang anak yang baru lahir dan berfungsi sebagai alat transformasi
nilai-nilai yang dapat mempengaruhi perkembangan anak. Hal ini terjadi,
dikarenakan banyak terciptanya gesekan-gesekan ataupun interaksi antara orang
tua dan anak sebagai ajang pembetukan sikap dan karakter. Itu sebabnya,
Rasulullah saw mengingatkan betapa pentingnya peran aktif orang tua dalam
membangun sikap dan karakter anak pada awal kehidupannya.
“Setiap anak
dilahirkan dalam keadaan fitrah, kedua orangtuanya yang mengantarkannya menjadi
Yahudi, Nasrani atau Majusi, seperti halnya hewan melahirkan hewan pula. Adakah
kamu melihat padanya kekuarangan (keganjilan)?.”
Sering diperbincangkan, pada kata “fitrah” dalam
Hadits di atas sebagai suci, yang berarti kosong layaknya kertas putih (teori
tabularasa). Namun, penulis sendiri tidak beranggapan demikian, tidaklah kata
“fitrah” diartikan sempit, sebab Allah swt telah membekali manusia pada awal
kehidupannya berbagai modalitas seperti instink (garizh), panca indra,
serta akal pikiran untuk mampu mempertahankan kehidupannya, bahkan juga
terdapat potensi keberimanan. Salah satu indikator yang menguatkan gagasan
tersebut adalah terdapat pada Surah Al-A’raf/7:172 dan Ar-Rum/30: 30.
Selanjutnya, pada kata “abawahu” yang
berarti orang tuanya, penyebutan keduanya secara bersamaan, baik laki-laki
maupun perempuan, menunjukkan bahwa keduanya memiliki peran yang cukup andil
dalam pembentukan sikap dan karakter keluarga, tanpa harus membeda-bedakan
derajat antara keduanya. Hal demikian dapat kita temukan dalam pesan-pesan
al-Qur’an Surah At-Tahrim/6: 66. Dengan demikian, kesalehan (kualitas) keluarga
ditentukan dari kesalehan (kualitas) kedua orangtuanya.
Peran Perempuan Sebagai Istri
Keberpasangan merupakan
fitrah manusia, sulit untuk melepas dari belenggu naluri dasar kemanusiaan.
Terlebih pada masa kematangan seksual dan keduanya saling membutuhkan. Naluri
semacam ini adalah wajar adanya dan seyogyanya didukung sesuai
petunjuk-petunjuk syari’at. Sebuah pernikahan yang berlangsung, ditandai dengan
ijab kabul, maka semestinya peran sebagai suami dan istri dimulai. Kedua
belah pihak, harus menyadari posisi, peran, dan kewajibannya masing-masing agar
terbentuk rumah tangga yang harmonis. Secara tidak langsung, istri memiliki
posisi yang strategis, antara lain karena banyak meluangkan waktu di rumah.
Berikut merupakan peran perempuan sebagai istri.
1.
Menjadi Pasangan Biologis
Suaminya.
Tidak dapat dipungkiri, bahwa salah satu kebutuhan
biologis manusia adalah melakukan aktivitas reproduksi. Allah swt menciptakan
Hawwa yang kemudian menjadikannya sebagai istri Adam as, untuk mengobati rasa
kesepiannya saat belum memiliki pasangan di awal kehidupan. Dari keduanyalah,
dapat melahirkan anak-anaknya. Melalui aktivitas reproduksi inilah, generasi
manusia tidak punah. Bahkan, yang demikian itu sangat dianjurkan oleh Allah swt
sebagai wadah dalam rangka melanjutkan dan memelihara keturunan, sebagaimana
dalam firman-Nya Surat al-Baqarah/2: 223. Juga, sebagai bentuk manifestasi akan
legalitas kita sebagai umat Nabi Muhammad saw.
2.
Menjadi Pasangan Psikologis
Suaminya.
Sebagaimana adagium di atas, istri yang baik (shalihah)
adalah yang mampu berperan serta mengaktualisasikan dirinya secara baik dengan
suaminya, sehingga memperoleh kesenangan secara psikologis. Itulah sebabnya
agama menjadi pilihan dasar saat memilih pasangan hidup, dikarenakan agama erat
kaitannya dengan moral (khusn al-khuluq). Terdapat riwayat mengatakat,
kebahagiaan bagi seorang suami apabila mempunyai pasangan (istri) hidup yang
shalihah, layaknya mahkota di atas kepala raja, ia menjadi milik berharga dan
kebanggaan seorang suami. Sebagaimana sabda Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh
Abu Dawud.
“Inginkah kamu aku
beritahu suatu kebaikan yang didambakan untuk dimiliki oleh manusia (suami)?
Jawabannya adalah perempuan yang shalihah, yaitu apabila suaminya memandangnya
ia menggairahkan, jika suaminya menyuruhnya ia menaatinya, dan jika suaminya
tidak di sampingnya ia memelihara dirinya.”
Hubungan interpersonal
antara suami dengan istri selayaknya harus diupayakan berlangsung dengan
hangat, bersahabat, saling menghormati, dan saling mempercayai. Seorang suami
akan merasa bahagia jika faktor-faktor biologis dan psikologisnya dapat
diperoleh. Sebagaimana firman Allah swt Surah An-Nisa/4: 34.
3.
Menjadi Administrator Rumah
Tangga
Ada pepatah mengatakan, “Rumahku adalah Surgaku.”
Dikarenakan rumah merupakan sarana tempat tinggal bagi keluarga untuk
beristirahat, berkumpul, serta melakukan kegiatan personal antar anggota
keluarga. Oleh karenanya, rumah selayaknya menjadi tempat tinggal yang
menyenangkan bagi semua anggota keluarga. Bahkan dikatakan, rumah sebagai
cerminan tuannya. Jika suami lebih banyak menghabiskan waktu di luar rumah,
maka istri memiliki peran yang sangat menentukan dalam menata tempat tinggal.
Layaknya manager, ia memiliki wewenang dalam menata berbagai sarana yang
diperlukan oleh semua anggota keluarga sehingga fungsional dan menyenangkan.
Sebagaimana sabda Rasulullah saw.
“Kalian semua
adalah pemimpin dan bertanggung jawab tentang bawahannya. Imam (kepala negara)
pemimpin dan bertanggung jawab tentang rakyatnya. Suami menjadi pemimpin dalam
keluarganya dan bertanggung jawab tentang mereka. Istri juga pemimpin dan
bertanggung jawab dalam pengaturan rumah tangganya. Bahkan pembantu pun menjadi
pemimpin dan bertanggung jawab tentang harta majikannya. Dan aku mengira Nabi
akan melanjutkan bahwa laki-laki menjadi pemimpin dan bertanggung jawab tentang
harta ayahnya. Jadi, setiap kalian adalah pemimpin dan bertanggung jawab
tentang yang dipimpinnya.”
Peran Perempuan Sebagai Ibu
Terdapat ungkapan
menarik yang menyebutkan “al-um madrasah al-ula,” yang artinya ibu
adalah sekolah pertama. Tidaklah berlebihan, ini menunjukkan betapa peran ibu
sangat strategis bagi perkembangan sikap dan karakter anak-anaknya di awal
kehidupan mereka. Ungkapan di atas, tidak hanya dapat dipahami sebagai pendidik
pertama saat anak-anaknya lahir, akan tetapi, dimulai saat pemilihan pasangan
hidup dan saat terjadinya konsepsi yang berproses menjadi janin yang kemudian
lahir sebagai bayi. Secara garis besar, peran seorang ibu dapat dijelaskan
beberapa diantaranya.
1.
Mengandung Anak.
Merupakan kodrat sekaligus anugrah yang diberikan
Allah swt kepada seorang perempuan adalah mengandung anak. Fase ini dimulai
saat terjadinya pembuahan dalam rahim yang ditandai oleh persatuan antara sel
laki-laki dengan sel perempuan. Mengandung merupakan tugas yang sangat
melelahkan, baik ia harus memperhatikan kesehatan dan keselmatan dirinya dan
anak yang dikandungnya, mapun juga adanya perubahan-perubahan hormonal yang
berpengaruh pada keseluruhan sistem tubuh. Hal ini sebagaimana difirmankan
dalam al-Qur’an Surah Luqman/31: 14.
Kata “al-wahn,” pada ayat di atas dimaknai
sebagai kelelahan atau terjadinya penurunan pada kekuatan fisik disebabkan
antara lain karena janin bertambah besar dan berat sehingga tubuh sedikit
banyak menopang berat yang berlebihan.
2.
Melahirkan dan Menyusui.
Setelah melalui fase mengandung, tugas seorang ibu
terhadap anaknya belumlah usai, sebab masih ada tugas berat lainnya sedang
menanti, bahkan semakin bertambah dikarenakan pada fase ini, waktu bagi seorang
ibu sangatlah berharga, setiap detiknya sangat mempengaruhi tumbuh kembang
anak, baik psikis maupun psikologis. Setelah melahirkan, terjadilah peristiwa
menakjibkan, sebab bersamaan dengan itu, seorang ibu memproduksi air susu yang
siap dikonsumsi sebagai nutrisi pertama yang sehat bagi bayinya. Sebagaimana
pesan ini tertuang dalam Surah al-Baqarah/2: 233.
3.
Merawat dan Membesarkan Anak.
Pada fase ini, tugas seorang ibu tidaklah seeksklusif pada saat
mengandung, melahirkan, dan menyusui, dikarenakan merawat serta membesarkan
anak dilakukan secara bersama-sama dengan keluarga. Meski demikian, peran
seorang ibu tetaplah dominan terutama pada fase bayi. Pada fase ini, tidaklah
perhatian seorang ibu terfokus pada perkembangan fisik saja, akan tetapi,
meliputi semua aspek pertumbuhan, seperti perkembangan mental spiritual,
social, kecerdasan, dan keterampilan hidup. Merawat serta membesarkan anak
merupakan tugas yang mulia disebabkan ini merupakan perintah agama. Sebagaimana
tertera dalam firman-Nya Surah An-Nisa/4: 9. Dikarenakan pentingnya
perkembangan anak pada fase ini dalam merawat serta membesarkan anak,
Rasulullah saw pun memberikan perhatian khusus pada fase ini, sebagaimana dalam
sabdanya,
“Kewajiban orangtua terhadap anaknya antara lain,
mengajarinya baca-tulis, berenang, memanah,
dan tidak memberinya rizki kecuali yang baik (halal). Wallahu A’lam.
***
*(CAKRAWALA/Edisi-2/Lentera Qurani/Ensiklopedia)
Tidak ada komentar: