Oleh: Fitria Qurrata’aini
Kepemimpinan
terbaik sepanjang sejarah Islam setelah Rasulullah Saw
wafat, tentulah keempat Khulafaurrasyidin, Abu Bakar al-Shidiq, Umar bin
Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Meski di setiap masa
kekhalifahan terdapat pergolakan, tetapi pada masa inilah tonggak terpenting
sejarah Islam dimulai sebagai rahmatan li
-l‘alamin.
Sepeninggal
Rasulullah Saw, riak-riak kecil mulai muncul pada masa Khulafa ar-Rasyidin.
Tidak hanya itu, kecarut-marutan terjadi di setiap dinasti bahkan hingga kita
harus menyaksikan pertumpahan darah sesama kaum muslimin. Jika kita korelasikan
antara pergolakan yang terjadi pada zaman dahulu dengan kecarut-marutan yang
terjadi di berbagai belahan dunia saat ini, kita akan menyadari satu hal. Ini
semua merupakan potret sejarah dinasti Islam berabad-abad silam.
Mari kita
perhatikan gejolak yang terjadi di berbagai negara yang berpenduduk mayoritas
Islam. Mulai dari bergejolaknya Mesir, Suriah, Libya dan sekitarnya hingga berbagai
masalah yang menimpa Tanah Air. Kita akan menyadari ternyata para penguasa
negara pada zaman ini, tidak berbeda dengan para umara terdahulu. Kepiawaian
para umara terdahulu tidak diragukan lagi, tetapi kekuasaan tidak dipungkiri menjadikan
mereka kehilangan arah. Alhasil berbagai cara mereka gunakan untuk
mempertahankan tahta kepemimpinan mereka.
Hal ini tidak
ubahnya dengan pergejolakan yang terjadi di berbagai negara saat ini. Di sini penulis
mencoba untuk mengulang kembali sejarah para umara terdahulu yang sayangnya
sering kita lupakan. Salah satu faktor mundurnya umat Islam serta berbagai
kekacauan yang terjadi di berbagai negara saat ini, bisa jadi karena kita tidak
pernah berguru pada sejarah sehingga tidak memetik pelajaran dari kejadian umat
Islam pada masa lalu.
Tidak heran
jika ada pepatah masyhur mengatakan esensi sejarah senantiasa berulang, hanya
perilaku, waktu dan tempatnya yang berbeda, namun hakikatnya tetaplah sama.
Tentu tidak ada kata mutlak dalam sejarah. Akan tetapi dengan adanya sejarah
kita dapat bercermin bagaimanakah para umara pada masa kedinastian dan apa yang
dapat kita petik untuk kepemimpinan masa kini.
Masa
kekhalifahan Utsman menjadi awal dari munculnya berbagai fitnah dan adu domba
di kalangan kaum muslimin. Setelah tujuh tahun pertama mengemban amanat sebagai
Khalifah dengan tenteram, pada lima tahun terakhir kekhalifahannya merebak
berbagai fitnah dan diakhiri dengan pembunuhan Sang Khalifah. Lima hari
setelah terbunuhnya Utsman, kaum muslimin memiliki khalifah lagi yaitu
Ali bin Abi Thalib. Ali berpendapat bahwa segala carut-marut yang terjadi pada
masa Utsman akan redam dengan peggantian gubernur-gubernur yang diangkat oleh
Utsman. Para Sahabat telah menasihati Ali untuk menunggu keadaan hingga reda,
namun Ali bersikeras untuk menyegerakan pergantian para gubernur, akhirnya
beberapa gubernur menolak dan salah satunya Muawiyah bin Abi Sufyan.
Muawiyah
menolak untuk dicopot dari posisinya sebagai gubernur dan tidak ingin membaiat
Ali hingga para pembunuh Utsman diadili terlebih dahulu. Kita tentu berharap,
seandainya Muawiyah taat kepada Ali dan Ali pun mendengar nasihat para Sahabat,
maka keadaan akan berbalik tenteram seperti semula. Namun, umat Islam
sepertinya harus menyaksikan peperangan saudara antar sesama muslim pada perang
Jamal dan perang Shiffin. Pada hakikatnya Ali dan Muawiyah sangat menghindari
adanya peperangan, akan tetapi munculnya para pemberontak telah menyiram api
fitnah sehingga terjadilah peperangan tersebut.
Dalam hal ini,
Muawiyah sering diceritakan dalam berbagai buku sejarah sebagai pembangkang
Ali. Tidak sedikit di antara kita yang membenci Muawiyah dengan kejadian ini,
terlebih setelah munculnya para Alawiyyin –pembela Ali. Padahal Muawiyah memiliki andil yang
besar dalam membantu kaum muslimin sejak masuknya Islam hingga didirikannya
Dinasti Umayyah. Kemampuan politik Muawiyah tidak diragukan lagi. Pengalamannya
menjadi gubernur Syam pada dua periode khalifah -Umar dan Utsman- membuatnya
paham dengan seluk-beluk kepemimpinan. Kepiawaiannya memimpin terbukti dengan berbagai
kebijakan yang solutif dan kembali bersatunya umat Islam setelah pertempuran
besar yang terjadi. Akan tetapi, berbagai kemajuan yang terjadi pada masa
Muawiyah tertutupi dengan streotip Muawiyah sebagai pembangkang Ali.
Hal di atas tidak
ubahnya dengan kejadian yang terjadi di Mesir belakangan ini. Akan tetapi
penyulut adu domba yang terjadi yaitu awak media yang memiliki propaganda dan
kepentingan bagi masing-masing kubu. Propaganda media mendominasi mindset
khalayak pada zaman ini, hal ini terlihat saat pemakzulan Presiden Mesir
sebelum ini terjadi. Tidak sedikit dari kita yang menganggap bahwa Presiden
saat ini kejam karena telah memakzulkan Presiden sebelumnya. Justifikasi ini
masih melekat dalam benak kita dan menjadikan penilaian kita terhadap Presiden
saat ini kurang adil. Meskipun pemerintahan tahun ini dinilai memiliki banyak
hutang, akan tetapi terbukti kerusuhan yang selama ini terjadi meredam dan
perbaikan berbagai sarana terlihat.
Propaganda
media pun sangat membantu menaikan reputasi para pemimpin saat ini. Nama Joko
Widodo –Presiden RI periode ini– sangat melejit setelah menjadi pemimpin di
daerah Solo, lalu menjadi Gubernur DKI Jakarta dan puncaknya menjadi orang
nomor satu di tanah air. Namun, kecarut-marutan pada masa kepemimpinan ini
telah tampak sejak sebelum dilantiknya hingga adanya berbagai aksi menuntut
kemunduran Presiden. Akan tetapi, undang-undang mengharuskan Wakil Presiden
sebagai pengganti dari Presiden terpilih. Hal ini tidak diinginkan oleh
khalayak karena menginginkan kandidat tidak terpilih sebagai Presiden
selanjutnya.
Hal ini
merupakan kejadian yang serupa dengan para umara pada masa Dinasti Umayyah.
Kejadian ingin menggulingkan Khalifah, namun pengganti harus berasal
dari golongan mereka merupakan hal yang terjadi di akhir masa Dinasti Umayyah. Sejarah
selalu terulang, akan tetapi kita seolah-olah hanya membaca dan tidak mengambil
pelajaran dari kejadian di masa lalu.
Seperti halnya
para umara terdahulu yang melakukan segala cara untuk mempertahankan tahta
kepemimpinannya, para pemimpin saat ini pun melakukan hal yang sama. Rakyat
dibungkam dengan uang untuk menutup aib mereka. Jika membangkang maka dengan
terpaksa harus dijebloskan ke balik jeruji besi atau bahkan diusir dari
negaranya.
Turki merupakan
salah satu negara yang memiliki pemimpin seperti ini. Untuk membungkam
rakyatnya, pemerintah Turki berani menaikkan gaji dengan nilai yang sangat
besar agar pegawai tidak membuka aib. Bahkan ulama sekelas Muhammad Fathullah
Gulen, harus meninggalkan Turki karena tidak taat pada Presiden dan dituduh
menyebarkan paham yang sesat.
Beralih ke masa
Dinasti Abbasiyah, Politik Turki tidak jauh berbeda dengan umara Dinasti
Abbasiyah. Abu Jakfar al-Manshur merupakan seorang pemimpin yang sangat
menyokong keilmuan, sayangnya ia berhati keras, ambisius, dan bertangan besi.
Siapapun yang mengusik kepemimpinannya akan lenyap di tangan al-Manshur. Abu
Muslim al-Khurasani yang menjadi panglima pasukannya beralih menjadi musuh
karena dianggap mengancam tahta kepemimpinannya. Ia pun terbunuh setelah
sebelumnya dikepung di kediaman al-Manshur.
Inilah sejarah.
Tidak heran jika lebih dari sepertiga al-Quran memuat sejarah. Dengan sejarah
kita dapat memprediksi masa depan dan bercermin untuk perubahan yang lebih
baik. Semoga umat Islam dapat mengembalikkan Islamic Golden Age.
Tidak ada komentar: