Oleh: Fadjar Sutarko, Lc
Memilih pemimpin dalam Islam bukanlah sebuah rutinitas 4-5 tahunan,
melainkan sebuah kewajiban religius (fardhukifayah dengan mukhatab
ahlul ikhtiyar). Itu, jika diyakini Islam sebagai sebuah kurikulum paripurna
yang tidak terpisah dari kehidupan sosial. Allah berfirman; “Sesungguhnya Allah
menyuruh kalian untuk menyerahkan amanat pada ahlinya,” kemudian pada paragraf selanjutnya, “Wahai orang-orang yang
beriman taatlah kepada Allah dan taatilah Rasul dan pemimpin kalian” (QS. an-Nisa
58-59).
Dalam ayat ini,
Islam menjadikan ketaatan kepada pemimpin selaras dengan ketaatan pada Rasul,
dengan sebelumnya membahasakan ini adalah sebuah amanat. Sebab kepemimpinan
identik dengan kekuasaan yang tentu berhubungan dengan absolutism.
Disini, al-Qur’an secara tersirat mencegah diktarorisme, agar para pemimpin
tidak meyakini kekuasaannya seabsolut Allah dan Rasul-nya.
Rasulullah Saw. bersabda, “Sesungguhnya ia adalah amanat, dan sungguh ia di
hari kiamat menjadi aib dan penyesalan kecuali orang yang berhak mengemban dan
menjalankan sebagaimana mestinya” (HR Muslim). Beliau Saw. mengingatkan dengan
keras, “Barang siapa pemimpin yang dipekerjakan Allah untuk mengurus
hamba-hambanya, kemudian ia mencurangi (mereka), ia mati dan tidak akan
sekali-kali mencium bau surga. (HR Muslim).
Peringatan
Islam atas diktatorian dan korupsi (kecurangan) ini, menurut
penulis, berhubungan dengan urgensinya yang mengakar. Sebab, jika diyakini
pemimpin ini memiliki otoritas (dari) Allah yang diwakilkan kepadanya dan ketaatan
kepadanya adalah ibadah, maka kemungkinan-kemungkinan eksploitasi umat pada
hal-hal yang menyangkut kepentingan pemimpin menjadi suatu keniscayaan. Bukti
di lapangan, gerakan politik, sosial, militer yang dibahanbakari oleh agama
melahirkan orang-orang militan yang mengorbankan apapun dan ikhlas tanpa
mengharapkan imbalan –penulis tidak menyalahkan substansi dari gerakan, itu
sah, namun eksploitasi pada kepentingan tertentu yang jelas bukan untuk
kemaslahatan Islam.
Tidak aneh, jika dikatakan Syeikh Syihabuddin As-Shawi dalam Syarh
Jauharah at-Tauhid ketika mengomentari bait, “Adalah wajib mengesahkan Imam
Adil”, (walaupun) ini adalah diskursus fiqih (baca: furu), namun pembahasannya
disini sudah menjadi sunnah (kebiasaan) dari kaum (baca: ulama-ulama akidah).
Sunnah dari ulama akidah untuk mengikutsertakan pembahasan ini pada struktur
kajian teologi umat Islam. Artinya, hal ini sangat penting dan setiap umat
Islam wajib mengetahui kewajibannya, meskipun, tidak sampai pada taraf “ma’lum min al-din bi-dharurah”. Maka dari itu, imam al-Laqqani langsung
memungkas bait di atas; “Walhasil (imamah) bukanlah rukun dari akidah Islam”. Konsekuensi
dari imamah bukan dari rukun Islam adalah jika ada umat Islam yang mengingkari
kewajiban mendirikan imamah ini (secara menyeluruh atau parsial) maka ia tidak
boleh dikafirkan. Pungkasan ini menjadi begitu krusial, karena umat pada masa
kontemporer ini dilanda wabah “pencampuradukan furu-ushul” lengkap
dengan pentakfirannya.
Dalam Ghiyats Umam, Imam Haramain al-Juwaini membahasakan kewajiban memilih
pemimpin ini dengan lebih halus, “Mendirikan imamah –ketika hal itu mungkin–
maka hukumnya wajib.” Menarik kata “ketika hal itu mungkin”, bahwa pada struktur
argumentasi beliau ketika mematahkan dalil Muktazilah tentang wajibnya imamah
berdasarkan al-shalah wal aslah. Imam Haromain menuturkan “Jika dimungkinkan
tiadanya nabi pada suatu kurun masa tertentu, maka tidak menutup kemungkinan
bahwa (pada suatu masa tertentu) tidak ada imamah/ulama. Dari sini, kita
mengetahui bahwa kewajiban mendirikan imamah diketahui dari
syara’”. Yang perlu digaris bawahi dari pernyataan ini adalah suatu
keniscayaan bahwa pada suatu zaman imamah itu absen dari
umat. Jika kekhalifahan Turki Utsmani dianggap sebagai representasi dari Imamah
Islam, maka sejak 3 Maret 1924, umat Islam telah kehilangan pucuk kepemimpinan. Belum jika menghitung dari hadist “Malikul Adud”, ”Kalian akan
merasakan zaman kenabian –atas kehendak Allah– kemudian zaman itu diangkat, lalu akan datang zaman khilafah
bermanhaj Nabawi –atas kehendak Allah– kemudian zaman itu diangkat, lalu akan
datang zaman kerajaan zalim/lalim –atas kehendak Allah– kemudian zaman itu
diangkat, lalu akan datang zaman kerajaan diktator –atas kehendak Allah– kemudian zaman itu diangkat, lalu
kembali datang zaman khilafah dengan Manhaj Nabawi.” (HR. Ahmad). Hadist ini
memiliki jangkauan tafsir yang luas, semisal jika ditakhsish dengan hadis, “(Masa) Khilafah 30 tahun setelah itu (zaman) kerajaan.”
Bisa ditakar sendiri.
Terlepas dari masa absen diatas, ulama-ulama turats seperti imam Juwaini,
Al-Mawardi, Abu Yala al-Farra sampai Ibnu Taimiyah telah membuat semacam cetak
biru kriteria seorang pemimpin umat Islam yang ideal. Persoalannya, jika diambil dari kriteria Abu Ya’la yang paling singkat, siapa
pada zaman ini yang bernasab QuraysShamim, piawai dalam berperang, politik,
menegakkan syariat dan paling mumpuni dalam ilmu agama? Syarat-syarat diatas, disamping
kesempurnaan panca indera, akil, baligh dan orang merdeka. Kecuali imam Mahdi, pada
masa mendatang, penulis tidak yakin bisa merekomendasikan yang lain.
Pada akhirnya ketika memilih pemimpin merupakan suatu kewajiban, kemudian
pemimpin yang ideal in absentia, tidak ada pilihan, kecuali memilih yang ada.
Bahkan pada sistem paling mainstream (dan paling dekat
dengan masyarakat Indonesia) –yang dikatakan kufur–
demokrasi, kewajiban itu akan tetap ada; kewajiban memilih dengan
berkompromi pada sistem demokrasi; karena menurut turats, ahlul ikhtiyar memiliki kriteria khusus.
Beruntung kompromi ini masih memiliki titik
temu, seperti yang dikatakan Yusuf Qaradhawi dalam “Min Fiqih Daulah
fil Islam”, bahwa inti demokrasi dengan imamah Islam
adalah pada musyawarah.Tatkala membahas musyawarah, Ibnu Taimiyah dalam Siyasah Syariyyah-nya menyitir
firmanAllah, “Maafkanlah mereka, mintakan ampunan untuk mereka, dan
bermusyawarahlah dengan mereka .” (Ali Imran 159). Dalam hal ini Abu Hurairah
berkata, “Tidak ada seorangpun yang paling banyak bermusyawarah kepada para
koleganya (sahabat) dari Rasulullah Saw”. Lebih jauh lagi Yusuf Qaradhawi
menyatakan bahwa pemilu dalam perspektif Islam adalah bentuk dari kesaksian
(syahadah) terhadap kualifikasi dari calon terpilih. Sehingga bisa disimpulkan
bahwa pemilu dalam bingkai demokrasi adalah cara pemilihan yang paling dekat
dengan syariat Islam, khususnya bagi umat Islam di Indonesia.
Keluwesan fikih tidak berhenti di situ, Abu
Ya’la dalam Ahkam Sulthaniyah-nya menuturkan pernyataan yang mungkin
mengejutkan sebagian kalangan, “Barang
siapa yang memenangkan mereka (khilafah) dengan pedang, sehingga ia menjadi
Amirul Mukminin, maka tidak halal bagi siapapun yang beriman kepada Allah dan
hari Akhir tinggal/bermalam (di wilayahnya) sedangkan ia tidak mengakuinya
sebagai pemimpin, ia bertakwa atau ahlu maksiat (fajir) ia tetap amirul
mukminin. Dari sini, menurutnya, Islam mengakui kepemimpinan orang fasik.
Senada dengan pendapat diatas, Imam Baijuri
dalam syarh Jauharah Tauhid-nya menyatakan
bahwa syarat-syarat ideal itu berlaku hanya pada permulaan pemilihan pemimpin,
Ia menuturkan, “Jika kemudian ada seseorang yang dengan paksa merebutnya
(imamah) dari pemimpin tersebut, maka hal itu menjadi sah adanya, walaupun
orang tersebut tidak qualified; seperti ia belum baligh, ia seorang wanita atau
seorang yang fasik, (bagi umat) wajib taat kepada perintah dan larangannya
seperti (ketaatan mereka) pada pemimpin yang memenuhi syarat.
Masih pendapat selaras, Ahmad Mubarak al-Baghdadi peneliti naskah Ahkam Sultoniyah al- Mawardi
menukilkan perkataan yang dinisbahkan kepada Ali bin Abi Thalib, “Bahwasanya
suatu kepemimpinan wajib adanya, baik atau fasik (fajir), (imam Ali) ditanggapi
(oleh penanya) kami sudah mengetahui yang baik, tapi bagaimana dengan yang
fasik? Jika semua hak dipenuhi dan hudud ditegakkan,”
jawabnya.
Sungguh amat mengagumkan melihat seorang faqih
bisa beradaptasi dengan keadaan, beradaptasi dengan demokrasi, sehingga umat
Islam memiliki daya tawar di mata dunia barat; sebagai pemilik hegemoni dunia
saat ini. Berbaur tanpa kehilangan identitas, setelah sebelumnya
beradaptasi dengan zaman kerajaan yang rentan dengan caplok-mencaplok
kekuasaan. Seorang faqih melihat kemaslahatan dan keselamatan umat. Bisa
dibayangkan jika dalam caplok-mencaplok antar kerajaan Islam ini, antara umat
Islam terus melakukan resistansi terhadap umat islam lainnya, maka akan lebih
banyak korban yang jatuh.
Tidak ada komentar: