INTERPRETASI ILMU DAN YANG MENDASARI
Oleh: Fairuz Hammurabbi HR*
Dalam mengetahui suatu hal,
mestilah seseorang tahu akan sebuah konsep yang mendasarinya. Konsep atau
anggitan adalah abstrak, entitas mental yang universal yang
menunjukan kepada kategori atau kelas dari sesuatu. Istilah konsep ini pun
diambil dari bahasa latin conceptum, yang artinya sesuatu yang
dipahami. Menurut Aristoteles dalam ‘The Classical Theory of Concepts’
ia mengatakan bahwa konsep adalah penyusun dalam membentuk pengetahuan ilmiyah,
filsafat pemikiran manusia. Konsep juga bisa diartikan sebagai suatu ide
ataupun mental yang tergambar dari kepribadian seseorang, karena konsep
dibangun dari berbagai macam kharakteristik.
Ilmu dalam Islam ditempatkan di
derajat yang spesial nan mulia. Banyak pula dari al-Quran maupun al-Hadits yang menjelaskan akan keistimewaannya, sehingga sering kita menjumpai anjuran, nasihat, bahkan perintah untuk mendalami ilmu sedalam-dalamnya. Allah SWT berfirman: “Katakanlah, apakah
sama orang-orang yang mengetahui dan orang yang tidak mengetahui? hanya orang
berakal sajalah yang bisa mengambil pelajaran” (Q.S Az-Zumar: 9).
Dalam Hadits pun demikian, banyak
sekali yang menyarankan bahkan memerintahkan untuk menuntut ilmu, yang mana
kedudukannya disamakan seperti
seorang yang sedang berjihad di medan perjuangan.
Rasulullah saw
bersabda:
مَنْ جَاءَ مَسْجِدِى هذَا لَمْ يَأْتِهِ إِلِّا لِخَيْرٍ يَتَعَلَّمُهُ أَوْ يُعَلِّمُهُ فَهُوَ بِمَنْزِلَةِ الْمُجَاهِدِ فِى سَبِيْلِ اللهِ وَ مَنْ جَاءَ لِغَيْرِ ذَالِكَ فَهُوَ بِمَنْزِلَةِ الرَّجُلِ يَنْظُرُ إِلَى مَتَاعِ غَيِرِه.
“Barang
siapa yang mendatangi masjidku ini, yang dia tidak mendatanginya kecuali untuk
kebaikan yang akan dipelajarinya atau diajarkannya, maka kedudukannya sama
dengan mujahid di jalan Allah. Dan siapa yang datang untuk untuk maksud selain
itu, maka kedudukannya sama seperti dengan seseorang yang melihat barang
perhiasan orang lain.”
(HR. Ibn Majah
dari Abu Hurairah. Isnad-nya hasan, dan di-shahih-kan
oleh Ibn Hibban).
Secara etimologi, kata ilmu itu
sendiri diambil dari kosa kata bahasa arab yang terdiri dari tiga huruf,
yaitu ‘ain (ع), lām (ل), dan mīm (م), maka
terangkailah menjadi kata ‘ilmun (علم). Dan masing-masing huruf tersebut
memiliki makna yang mengandung ciri dan kedudukan yang menunjukkan
pemiliknya sebagai seorang ahli ilmu (ulama).
Pertama,
huruf ‘ain (ع) yang diambil dari kata عال , yang berarti tinggi. Orang
berilmu memiliki kedudukan khusus dibanding orang yang tidak berilmu, entah di
dunia maupun di akhirat. Seperti firman Allah SWT :
يَرْفَعِ
اللهُ الَّذِيْنَ آمَنُوْا مِنْكُمْ وَالَّذِيْنَ أُوْتُوْا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ
“Allah
mengangkat orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi
ilmu beberapa derajat.” (Q.S Al-Mujādalah: 11). Dari ayat tersebut
jelas sudah bahwa seorang mukmin berilmu lebih tinggi dan diagungkan oleh Allah
dibanding yang tidak. Karena suatu ibadah yang dilandasi dengan ilmu, akan
lebih baik dan lebih utama, sebab ia lebih memungkinkan untuk khusyū’
dalam ibadahnya.
Kedua, huruf lām (ل) yang diambil dari kata لين , yang
berarti lembut. Pemilik ilmu ('ālim) pastinya memiliki kepribadian dan sikap yang
lembut. Karena ilmu tersebut menuntunya menjadi seseorang yang lembut kepada
siapapun, dalam tutur katanya, sifat, maupun perangainya. Seperti dalam firman
Allah SWT:
فَقُوْلَا
لَهُ قَوْلًا لَيٍّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى
“Maka
bicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut,
mudah-mudahan ia ingat atau takut.” (Q.S Thoha: 44)
Ayat
tersebut mengisahkan bahwa Allah memerintahkan Nabi Musa as dan Nabi Harun as
agar berkata secara lembut meskipun kepada Firaun yang nota-bene seorang
kafir yang sangat kejam bahkan mengklaim dirinya tuhan.
Ketiga, huruf mīm (م) yang
diambil dari kata ملك , yang artinya pemimpin atau penguasa. Karena
syarat mutlak seorang pemimpi adalah berilmu. Seperti yang dikisahkan dalam
al-Quran di surat al-Baqarah bahwa Allah memberikan ilmu kepada Nabi Daud as,
kemudian diberikannya pula kedudukan berupa raja.
Rasulullah Saw juga pernah bersabda
yang artinya, “ Barang siapa melalui satu jalan untuk mencari ilmu, maka Allah
akan memasukkannya ke salah satu jalan diantara jalan-jalan surga, dan
sesungguhnya malaikat banar-benar merendahkan sayapnya karena ridha terhadap
penuntut ilmu, dan sesungguhnya seorang alim benar-benar akan dimintakan ampun
oleh makhluk di dunia dan di bumi, bahkan ikan-ikan di dalam air. Dan
sesungguhnya keutamaan seorang ‘ālim atas seorang ‘ābid (ahli
ibadah) adalah seperti keutamaan bulan purnama atas seluruh bintang yang ada.
Dan sesungguhnya ulama adalah pewaris Nabi, dan sesungguhnya para Nabi tidak
mewariskan dinar maupun dirham, akan tetapi mereka hanya mewarisi ilmu.
Maka, barang siapa mengambilnya, maka hendaklah ia mengambil bagian yang
banyak.
(Lihat
kitab Sunan Abu Daud No. 3157, dan di-syarh pula oleh Ibn Qoyyim
al-Jauziyyah dalam kitabnya ‘Awn al-Ma’būd).
Demikianlah cerminan ilmu begitupula ahli-nya. Ilmu yang dimaksud ialah ilmu yang dapat menghasilkan sebuah hikmah,
hikmah yang dapat menjadikan pemiliknya mengetahui tentang kedudukan dan posisi
dari setiap sesuatu dan menempatkannya pada tempat yang sesuai. Karena dengan
ilmu, seseorang dapat membedakan mana yang haq dan bathil.
Dan
hikmah dari ilmu itu pun merupakan sebuah anugrah dari Allah SWT kepada setiap
hamba-Nya yang ia kehendaki, entah ia taat maupun tidak, baik ia muslim ataupun
kafir.
Dalam framework Islam
pun demikian, tidaklah seorang muslim melakukan sesuatu melainkan demi
mendapatkan esensi dari apa yang dituju, yaitu keberkahan. Dan berkahnya ilmu
adalah ketika ia dapat berbuah suatu amalan dan menguatkan serta menambah
keimanan dan keyakinan terhadap Allah SWT. Karena iman, ilmu, dan amal
merupakan suatu komponen yang tidak bisa dipisahkan dan saling berhubungan dan
berpengaruh.
Oleh sebab itu, jika ilmu
didefinisikan sebagaimana mestinya, dalam konteks maupun konsep yang tepat, dan
menjadikannya sebagai kunci sarana dalam mendekatkan diri kepada Sang Kholiq
Allah SWT, pastilah semua orang akan gemar menuntut ilmu sedalam-dalamnya demi
mencapai hakikat dari pada ilmu tersebut, serta tidak akan membuang waktunya
dengan hal yang sia-sia, apalagi dalam kemaksiatan. Sebagaimana Rasulullah Saw
pernah bersabda: “Dari sebaik-baiknya keislaman seseorang adalah meninggalkan
hal yang tidak bermanfaat baginya.” Juga seperti wasiat Imam Wāqi’
kepada muridnya Imam Syāfi’i, bahwa ilmu tidak akan
diberikan kepada orang yang bermaksiat.
Wallāhu A’lam Bis-Showāb.
*Penulis adalah Mahasiswa Univ. Al-Azhar Cairo Fak.
Syariah Islamiyah.
INTERPRETASI ILMU DAN YANG MENDASARI
Oleh: Fairuz Hammurabbi HR*
Dalam mengetahui suatu hal,
mestilah seseorang tahu akan sebuah konsep yang mendasarinya. Konsep atau
anggitan adalah abstrak, entitas mental yang universal yang
menunjukan kepada kategori atau kelas dari sesuatu. Istilah konsep ini pun
diambil dari bahasa latin conceptum, yang artinya sesuatu yang
dipahami. Menurut Aristoteles dalam ‘The Classical Theory of Concepts’
ia mengatakan bahwa konsep adalah penyusun dalam membentuk pengetahuan ilmiyah,
filsafat pemikiran manusia. Konsep juga bisa diartikan sebagai suatu ide
ataupun mental yang tergambar dari kepribadian seseorang, karena konsep
dibangun dari berbagai macam kharakteristik.
Ilmu dalam Islam ditempatkan di
derajat yang spesial nan mulia. Banyak pula dari al-Quran maupun al-Hadits yang menjelaskan akan keistimewaannya, sehingga sering kita menjumpai anjuran, nasihat, bahkan perintah untuk mendalami ilmu sedalam-dalamnya. Allah SWT berfirman: “Katakanlah, apakah
sama orang-orang yang mengetahui dan orang yang tidak mengetahui? hanya orang
berakal sajalah yang bisa mengambil pelajaran” (Q.S Az-Zumar: 9).
Dalam Hadits pun demikian, banyak
sekali yang menyarankan bahkan memerintahkan untuk menuntut ilmu, yang mana
kedudukannya disamakan seperti
seorang yang sedang berjihad di medan perjuangan.
Rasulullah saw
bersabda:
مَنْ جَاءَ مَسْجِدِى هذَا لَمْ يَأْتِهِ إِلِّا لِخَيْرٍ يَتَعَلَّمُهُ أَوْ يُعَلِّمُهُ فَهُوَ بِمَنْزِلَةِ الْمُجَاهِدِ فِى سَبِيْلِ اللهِ وَ مَنْ جَاءَ لِغَيْرِ ذَالِكَ فَهُوَ بِمَنْزِلَةِ الرَّجُلِ يَنْظُرُ إِلَى مَتَاعِ غَيِرِه.
“Barang
siapa yang mendatangi masjidku ini, yang dia tidak mendatanginya kecuali untuk
kebaikan yang akan dipelajarinya atau diajarkannya, maka kedudukannya sama
dengan mujahid di jalan Allah. Dan siapa yang datang untuk untuk maksud selain
itu, maka kedudukannya sama seperti dengan seseorang yang melihat barang
perhiasan orang lain.”
(HR. Ibn Majah
dari Abu Hurairah. Isnad-nya hasan, dan di-shahih-kan
oleh Ibn Hibban).
Secara etimologi, kata ilmu itu
sendiri diambil dari kosa kata bahasa arab yang terdiri dari tiga huruf,
yaitu ‘ain (ع), lām (ل), dan mīm (م), maka
terangkailah menjadi kata ‘ilmun (علم). Dan masing-masing huruf tersebut
memiliki makna yang mengandung ciri dan kedudukan yang menunjukkan
pemiliknya sebagai seorang ahli ilmu (ulama).
Pertama, huruf ‘ain (ع) yang diambil dari kata عال , yang berarti tinggi. Orang berilmu memiliki kedudukan khusus dibanding orang yang tidak berilmu, entah di dunia maupun di akhirat. Seperti firman Allah SWT :
يَرْفَعِ
اللهُ الَّذِيْنَ آمَنُوْا مِنْكُمْ وَالَّذِيْنَ أُوْتُوْا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ
“Allah
mengangkat orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi
ilmu beberapa derajat.” (Q.S Al-Mujādalah: 11). Dari ayat tersebut
jelas sudah bahwa seorang mukmin berilmu lebih tinggi dan diagungkan oleh Allah
dibanding yang tidak. Karena suatu ibadah yang dilandasi dengan ilmu, akan
lebih baik dan lebih utama, sebab ia lebih memungkinkan untuk khusyū’
dalam ibadahnya.
Kedua, huruf lām (ل) yang diambil dari kata لين , yang
berarti lembut. Pemilik ilmu ('ālim) pastinya memiliki kepribadian dan sikap yang
lembut. Karena ilmu tersebut menuntunya menjadi seseorang yang lembut kepada
siapapun, dalam tutur katanya, sifat, maupun perangainya. Seperti dalam firman
Allah SWT:
فَقُوْلَا
لَهُ قَوْلًا لَيٍّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى
“Maka
bicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut,
mudah-mudahan ia ingat atau takut.” (Q.S Thoha: 44)
Ayat
tersebut mengisahkan bahwa Allah memerintahkan Nabi Musa as dan Nabi Harun as
agar berkata secara lembut meskipun kepada Firaun yang nota-bene seorang
kafir yang sangat kejam bahkan mengklaim dirinya tuhan.
Ketiga, huruf mīm (م) yang
diambil dari kata ملك , yang artinya pemimpin atau penguasa. Karena
syarat mutlak seorang pemimpi adalah berilmu. Seperti yang dikisahkan dalam
al-Quran di surat al-Baqarah bahwa Allah memberikan ilmu kepada Nabi Daud as,
kemudian diberikannya pula kedudukan berupa raja.
Rasulullah Saw juga pernah bersabda
yang artinya, “ Barang siapa melalui satu jalan untuk mencari ilmu, maka Allah
akan memasukkannya ke salah satu jalan diantara jalan-jalan surga, dan
sesungguhnya malaikat banar-benar merendahkan sayapnya karena ridha terhadap
penuntut ilmu, dan sesungguhnya seorang alim benar-benar akan dimintakan ampun
oleh makhluk di dunia dan di bumi, bahkan ikan-ikan di dalam air. Dan
sesungguhnya keutamaan seorang ‘ālim atas seorang ‘ābid (ahli
ibadah) adalah seperti keutamaan bulan purnama atas seluruh bintang yang ada.
Dan sesungguhnya ulama adalah pewaris Nabi, dan sesungguhnya para Nabi tidak
mewariskan dinar maupun dirham, akan tetapi mereka hanya mewarisi ilmu.
Maka, barang siapa mengambilnya, maka hendaklah ia mengambil bagian yang
banyak.
(Lihat
kitab Sunan Abu Daud No. 3157, dan di-syarh pula oleh Ibn Qoyyim
al-Jauziyyah dalam kitabnya ‘Awn al-Ma’būd).
Demikianlah cerminan ilmu begitupula ahli-nya. Ilmu yang dimaksud ialah ilmu yang dapat menghasilkan sebuah hikmah,
hikmah yang dapat menjadikan pemiliknya mengetahui tentang kedudukan dan posisi
dari setiap sesuatu dan menempatkannya pada tempat yang sesuai. Karena dengan
ilmu, seseorang dapat membedakan mana yang haq dan bathil.
Dan
hikmah dari ilmu itu pun merupakan sebuah anugrah dari Allah SWT kepada setiap
hamba-Nya yang ia kehendaki, entah ia taat maupun tidak, baik ia muslim ataupun
kafir.
Dalam framework Islam
pun demikian, tidaklah seorang muslim melakukan sesuatu melainkan demi
mendapatkan esensi dari apa yang dituju, yaitu keberkahan. Dan berkahnya ilmu
adalah ketika ia dapat berbuah suatu amalan dan menguatkan serta menambah
keimanan dan keyakinan terhadap Allah SWT. Karena iman, ilmu, dan amal
merupakan suatu komponen yang tidak bisa dipisahkan dan saling berhubungan dan
berpengaruh.
Oleh sebab itu, jika ilmu
didefinisikan sebagaimana mestinya, dalam konteks maupun konsep yang tepat, dan
menjadikannya sebagai kunci sarana dalam mendekatkan diri kepada Sang Kholiq
Allah SWT, pastilah semua orang akan gemar menuntut ilmu sedalam-dalamnya demi
mencapai hakikat dari pada ilmu tersebut, serta tidak akan membuang waktunya
dengan hal yang sia-sia, apalagi dalam kemaksiatan. Sebagaimana Rasulullah Saw
pernah bersabda: “Dari sebaik-baiknya keislaman seseorang adalah meninggalkan
hal yang tidak bermanfaat baginya.” Juga seperti wasiat Imam Wāqi’
kepada muridnya Imam Syāfi’i, bahwa ilmu tidak akan
diberikan kepada orang yang bermaksiat.
Wallāhu A’lam Bis-Showāb.
*Penulis adalah Mahasiswa Univ. Al-Azhar Cairo Fak. Syariah Islamiyah.
Tidak ada komentar: