Dulu ketika ujian
pondok sudah mulai dekat, beragam respon teman-teman saya mempersiapkan materi
ujian. Di sela-sela jam pelajaran salah satu guru kami berpesan: sekiranya
ujian diniatkan karena Allah maka insyaallah hasilnya akan berkah. Kemudian
beliau menambahkan: ketika kamu menghadapi ujian hanya memfokuskan bagaimana
menjawab soal agar kamu naik kelas atau mendapat rangking satu. Maka ada satu
hal yang kamu lewatkan. Kamu kehilangan proses yang sudah banyak merubah cara
hidupmu, cara berpikirmu. Kelas kami sempat hening untuk beberapa saat. Mungkin
kami sama-sama sedang mengukur diri. Sejauh mana ujian menjadi prioritas
masing-masing.
Pasalnya,
berbagai macam motivasi yang ada dalam benak kami untuk memacu semangat
menghadapi ujian. Ada yang percaya diri memasang target nilai tertinggi. Karena
biasanya beberapa santri yang meraih nilai tertinggi berhak mendapat beasiswa
uang sekolah dan uang makan selama setengah tahun penuh. Ada pula yang
menancapkan target sederhana. Yang penting ujian nanti saya bisa menjawab soal
secukupnya. Tidak perlu muluk-muluk. Cukup naik kelas saja.
Tentu akan ada
perbedaan secara implementasinya antara kedua santri tersebut. Yang pertama, ia
akan mengeluarkan segala usaha agar target besarnya tercapai. Karena jelas itu
tidak mudah. Namun bagi santri yang kedua, ia tidak perlu berjuang siang malam
untuk hanya sekedar bisa naik kelas. Cukup menguasai dan mengulangi pelajaran
seperlunya. Yang jelas, keduanya mulai berbenah ketika kata ujian sudah mulai
banyak digaungkan.
Ada lagi teman
saya yang sedari awal memang tidak terlalu terpengaruh dengan berita semakin
dekatnya ujian. Dia tetap saja sama seperti hari biasa. Dia berkeyakinan, ujian
tidak boleh menjadikannya gagal paham akan maksud dan tujuan belajar itu
sendiri. Tanpa atau dengan ujian, ia akan tetap belajar seperti itu.
Menarik jika
kita perhatikan keberagaman respon di atas. Tentu semua itu ditentukan
indivunya, sejauh mana ia memahami hakikat ujian itu sendiri. Apakah ia menganggapnya
sebagai awal. Awal bagi perubahan prilakunya, pola pikirnya. Apakah ia
menjadikannya sebagai akhir. Titik akhir dari perjuangannya selama ini. Dimana
seseorang akan mendapatkan hasil dari jerih payahnya.
Jika saja ujian
itu adalah akhir. Maka semua peluh dan pengorbanan yang dilakukan bertujuan
untuk mencapai titik akhir tersebut -baca ujian-. Maka berhasil atau tidaknya
pencapaian seseorang sangat bergantung dengan nilai dan hasil dari tujuan
akhirnya. Kala nilai ujian belum memuaskan, bisa dikatakan ia telah gagal.
Sebaliknya, saat hasil ujian memuaskan, maka ia telah sukses melewati ujian
tersebut. Target pencapaian dan hasil menjadi sangat dominan dalam skala
ini.
Namun jika
ujian dimaknai sebagai awal. Proses awal dari
kesuksesan sebenarnya. Maka substansi ujian bukan dari sejauh mana
target itu dapat diraih. Bukan pula sebaik apa hasilnya menjadi titik akhir.
Melainkan dari seberapa sadar ia meyikapi perubahannya waktu sebelum ujian
dengan saat ujian tiba. Ia menyadari proses perbaikan yang ia lewati untuk
menghadapinya. Berbagai kelalaian yang dulu biasa dilakukan perlahan
tergantikan dengan hal-hal positif. Hingga hal itu tidak dilupakannya begitu
saja. Akan berbekas dalam rutinitasnya. Perlahan menjadi kebiasaan baru. Bahkan
jauh setelah ujian itu terlewati.
Jika substansi
ujian hanya bergantung sebaik apa
hasilnya. Maka layaklah dikatakan nabi Nuh as telah gagal mengemban risalah
kenabian. Bagaiamana tidak. Selama kurang lebih 950 tahun lamanya beliau
berdakwah, hanya 80 orang yang mau menerima ajaran tauhid yang ia bawa. Bahkan
salah satu riwayat mengatakan 10 orang. Ditambah anaknya sendiri mengingkari
dakwah ayahnya. Tentu tidaklah demikian adanya. Nabi nuh as tidak dikatakan
gagal hanya dikarenakan sedikit pengikutnya. Beliau Pun tidak gagal karena
tidak bisa membawa keluarganya sendiri. Proses yang ia lalui teramat panjang
dan melelahkan. Dan ia menjalaninya dengan tetap sabar dan tawakkal. Ia tetap istiqomah
berdakwah meski tau umatnya enggan menerima. Semata-mata ia lakukan untuk
menjalankan tugas dari Rabb nya. Sedari awal memang diniatkan untuk
menjalankan perintah. Bukan mencari banyak peserta.
Ujian tanpa
target tentu akan kurang berwarna. Bisa jadi malah menjerumuskan kita ke dalam
dekadensi usaha secara total. Namun target tanpa niat yang benar. Ibarat
berlari menuju garis finis, namun tidak tau untuk apa ia berlari. Dan yang
tidak kalah penting adalah, pengamalan hal-hal positif selama proses ujian
berlangsung hingga terealisasikan menjadi kebiasaan baik yang kian melekat.
Sehingga tidak menjadi orang yang lupa cara berenang setelah lama bermain dalam
laut. Maka, penyatuan relasi dari
semuanya agar berimbang menjadi titik tertinggi pemaknaan ujian secara hakikat
total. Kala niat telah benar, langkah kian mantap, target pun jelas, dan proses
menjadi pelajaran berarti. Niscaya hasil tidak akan pernah menghianati. Pun
jikalau itu terjadi. Makna kesuksesan sejatinya masih tetap diraih kala faktor
lain tidak terlewati.
Namun dalam
praktiknya, tidak akan mudah begitu saja memang. Karena sesuatu yang dilakukan
dengan niat yang benar biasanya akan menemui jalan yang terjal. Mengingat iblis
paling tidak suka kala musuhnya mengerti hakikat peran Tuhan dalam setiap
perbuatannya. Ia tidak bisa tinggal diam begitu saja. Ada satu hal lucu yang
dilakukan almarhum KH. Bisri Musthofa kala menulis sesuatu. Ia menyebutnya
menipu iblis. Saat menulis beliau tidak masukan niat-niat untuk menegakkan
syariat Allah . hanya sekedar ingin cepet selesai. Lalu dikasihkan kepada
editor.. Ketika akan diserahkan, baru beliau niatkan seutuhnya karena Allah
swt. Dengan begitu, ia rasa tulisannya akan cepat selesai karena iblis tidak
datang untuk banyak mengganggu, namun tetap tidak kehilangan esensi dari nilai
dakwahnya.
Allahu A’lam
Bissowab…(GusTain)
Tidak ada komentar: