“Sejarah itu adalah alat
ideologisasi, karena hampir seluruh ideologi mengantarkan ilmunya dengan sebuah
sejarah. Seperti kelompok syiah, khawarij, komunis, dan lain sebagainya. Dari sinilah
mengapa sejarah menjadi suatu hal yang penting untuk diketahui dan dipelajari.”
Begitulah kata Dr.Tiar Anwar Bachtiar, ketua PP Pemuda Persatuan Islam (PERSIS)
dan seorang Doktor sejarah lulusan Universitas Indonesia, dalam memulai sesi
perkuliahan Sekolah Pemikiran Islam (SPI) Fatahillah angkatan ke-4 di Institute
for Studies Islamic Thought and Civilizations (INSISTS), Jakarta.
Nativisasi diambil dari kata native, yang berarti asli, orang asli ataupun pribumi. Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Nativ-isme bermakna sikap atau paham suatu
negara atau masyarakat terhadap suatu kebudayaan sendiri berupa gerakan yang
menolak pengaruh, gagasan atau kaum pendatang. Maka, nativisasi, layaknya kata
bertambahkan “isasi” lainnya, yaitu upaya menyebarkan sebuah “isme” atau paham-paham, seperti islamisasi
dan liberalisasi. Dalam istilah para sejarawan,
nativisasi diartikan sebagai satu
cara pandang yang melihat bahwa sejarah
Indonesia menafikan unsur-unsur asing yag ada, dan sebuah usaha mengembalikan
unsur-unsur asli yang ada di sebuah Negara atau Masyarakat.
Pembicaraan
yang dikerucutkan dalam pembahasan nativisasi adalah, pengembalian produk asli budaya leluhur Indonesia, yaitu Hindu, Budha,
dan Animisme. Sementara produk-produk seperti Islam, Kristen dan Yahudi adalah
produk luar yang diimpor ke Indonesia. Namun, dalam menyikapi hal ini, Dr.Tiar
menegaskan bahwa nativisasi itu sendiri sebenarnya tidak mempunyai pijakan
epistimologi yang komperhensif. Lebih tegas lagi beliau berkata “Jadi yang ia
katakan sebagai produk asli pun sebenarnya tidak ada yang asli dari Indonesia
itu sendiri. Hindu, Budha dan Animisme pun merupakan barang impor dari luar.
Namun, karena yang pertama kali menginjakkan kakinya di Nusantara ini adalah
paham tersebut, maka itu semua dikatakan asli dari Indonesia. Dan setiap
kebudayaan mempunyai sifat dinamis yang akan selalu berubah, maka kebudayaan
akan mati dengan seiring berkembangnya
zaman”. Seperti budaya memakai pakaian adat, penyembahan di Candi-candi, dan
tradisi adat lainnya yang sudah tidak selaras lagi dengan berkembangnya zaman.
Menurut Dr.Tiar Anwar,
Nativisasi, tidak lain dan tidak bukan adalah misi dari para orientalisme Barat
yang ingin men-sekularkan rakyat muslim di Indonesia, sehingga mereka tidak
kenal lagi, bahwa dulu Indonesia pernah dibela dan diperjuangkan oleh para pejuang muslim dan da’i-dai serta
ulama. Tokoh tokoh orientalisme seperti Thomas Stanford Rafless, seorang tokoh orientalis
yang menulis buku “The History of Java”, dan dialah yang mengembangkan teori
hindu pertama kali di Indonesia. Adalagi William Rasden dengan bukunya “The
History of Sumatra”, yang memisahkan antara “adat” dengan “agama”, dan
berpendapat bahwa adat adalah karakter orang Sumatra, yang mana itu
bertentangan dengan ajaran agama yang ada (khususnya Islam).
. Para orientalis tersebut membuat suatu
gagasan dan melakukan berbagai penelitian mengenai sejarah di Indonesia, lalu
membuat itu semua terlihat lepas dari agama. Karena menurut mereka Islam adalah
satu ajaran yang merusak dari berjalannya misi kristenisasi di Indonesia. Dan
kristenisasi adalah satu dari tiga faktor
tujuan mereka datang ke Nusantara ini. adapun tiga faktor itu, 3G ; gold (kekayaan), glory (kekuasaan),
gospel (penyebaran agama kristen)
Dalam peristiwa
perang Diponegoro (1825-1830), misalnya, mereka membuat sejarah dari penyebab khusus
perang ini adalah ; pemasangan patok oleh Belanda untuk pembangunan jalan yang
melintasi Makam leluhur pangeran
Diponegoro. Pemasangan patok itu tanpa izin, sehingga sangat ditentang oleh
pangeran Diponegoro (lihat, Sugiharsono, et al, Ilmu Pengetahuan Sosial
SMP/MTS Kelas VIII Ed.4,Jakarta: Pusat Pembukuan, Departemen Pendidikan
Nasional, 2008, hal.62) sebab ini membuat seakan-akan Diponegoro berperang
hanya untuk perebutan sebuah “makelar
tanah”, dimana itu
merupakan hal yang kurang cocok dijadikan sebab utama dari perang tersebut.
Dalam buku “Sejarah Nasional
Indonesia Prespektif baru”, yang disusun oleh Dr.Tiar, yang mana merupakan sebuah
terobosan baru dari buku sejarah dalam prespektif Islam dan telah merivisi
beberapa buku sejarah dari tingkat menengah. Dibuat kutipan besar bahwa
“Pangeran Diponegoro pejuang muslim yang tangguh. Bukan hanya tanah Nusantara
yang diperjuangkan, melainkan pembelaan terhadap Agama Allah lebih utama”. Ia
menyatakan dengan terang bahwa perlawanannya tersebut adalah perang sabil
(jihad di Jalan Allah SWT.) menghadapi kaum kafir. (selengkapnya lihat, Tiar
Anwar Bahtiar dkk, Sejarah Nasional Indonesia Prespektif baru, Jakarta Andalusia Islamic Education & Management
Service (AEIMS).hal.90)
Beliau, Raden Mas
Ontowiryo, dikenal dengan Pangeran Diponegoro, putra sulung Sultan
Hamengkubuwono III. Ia lahir pada 11 November 1785 di Yogyakarta dari seorang
selir bernama R.A Mangkarawati. Walaupun dari keturunan raja, Diponegoro lebih
tertarik pada kehidupan keagamaan dan hidup bersama rakyat daripada tinggal di
Keraton. Oleh sebab itu, ia lebih memilih menimba ilmu di Pesantren di daerah
Tegalrejo. Beliau adalah ulama dan seorang mujahid. Oleh karena itu, penyebab terjadinya perang adalah bahwasanya
Diponegoro melihat kristenisasi mulai menyebar di Tanah Jawa, dan umat islam
sangat terdesak oleh penjajahan Belanda.
Jadi bukan hanya karena makelar tanah. Nantinya, dampak dari pengabaian nilai
keislaman pada peristiwa ini adalah lupanya para pelajar, umat muslim khususnya,
dengan sosok keislaman pangeran Diponegoro.
Bentuk deislamisasi lainnya adalah Penamaan
kapitan Patimura dengan “Thomas Matulesi” yang identik dengan nama orang kristen. Adapun sebenarnya, ia adalah Ahmad Lusy, akrab dengan panggilan Mat
Lusy, seorang muslim yang taat dan pemberani dari daerah Maluku. Ia adalah seorang pahlawan dan mujahid. Pada saat itu kerajaan
Maluku. adalah kepulauan dengan kerajaan-kerajaan islam terbanyak. Daerah
tersebut pernah diberi julukan oleh orang Arab sebagai jaziirot al-mulk . Pattimura dengan
semangat jihadnya memipin perang rakyat maluku terhadap belanda dan berhasil
merebut Benteng Duurstede di Sapura dari tangan penjajah.
Berbicara mengenai perjuangan
pahlawan, mayoritas hanya mengetahui bagaimana para pahlawan-pahlawan tersebut
berperang, lantas ia menang atau kalah, dan terakhir mereka wafat, lalu di
singkan ke berbagai derah. Karena memang ini adalah salah satu misi dari
sekularisasi yang ada dalam pengkajian sejarah. Bisa dilihat bagaimana sejarah
mengupas dengan jelas tentang
silsilah candi, macam-macamnya, hingga kerajaan hindu dan budha secara
mendetail. Sebaliknya, dimana sejarah banyak mengungkap bagaimana peran
Muhammadiyyah, Nahdahatul Ulama, para ulama dan
Pesantren-pesantrennya,
Kerajaan-kerajaan islam, dan berabagai peninggalannya secara menyeluruh. Walaupun
ada, itu mungkin tidak sebanyak yang diawal. Buya Hamka pernah berkata bahwa
“Orang Indonesia lebih mengenal siapa itu Gajah Mada, daripada
Raden Fatah”. Inilah sebuah deislamisasi sejarah.
Dalam memasukkan
pemahaman nativisasi sejarah,
simbol atau icon yang selalu ditunjukkan untuk mewakilkan Indonesia dimata Dunia adalah sebuah candi.
Apa karena Candi Borobudur merupakan
salah satu dari tujuh keajaiban
Dunia yang ada?. Inilah dampak
yang terjadi dari sebuah nativisasi sejarah. Orang seakan melihat Indonesia
dahulu berjaya dan berkuasa ditangan Majapahit, Sriwijaya, Mataram, serta
kerjaan-kerajaan lain, yang mana itu tidak ada unsur keislaman. Sehingga mereka
lupa dengan perjuangan-perjuangan para da’i dari kerajaan islam, ulama-ulama
yang berusaha menyatukan Nusantara, serta para kyai yang ikut
andil di barisan terdepan dalam mengusir penjajah di Nusantara ini.
Kita tidak
menafikan semua sejarah yang ada,
Tentang eksistensi kerajaan hindu
budha di Nusantara ini, ataupun segi segi perjuangan pahlawan yang lainnya.
akan tetapi setidaknya kita lebih beradab dalam mendudukkan sesuatu. Lebih tepatnya, sebagai
orang islam, kita harus lebih bisa memproporsionalkan sesuatu. Tau akan
kerajaan hindu budha, lantas kita tidak tau kerajaan islam yang lebih banyak
membawa perubahan pada Nusantara ini. Mengetahui kisah para raja Hindu dan
budha, namun tidak mengenal kisah, bahkan nama-nama ulama yang ada pada
kerajaan islam dan pahlawan di Nusantara.
Teringat
nasehat Dr.Tiar di akhir perkuliahan, “Kalian semua, serta seluruh rakyat
Indonesia harus mengetahui sejarah yang benar, kalaupun sudah terlanjur
disampaikan kepada mereka hal-hal yang menyimpang, maka satu-satunya jalan
adalah dengan membenahi “guru sejarahnya”. Sejarah perlu banyak dikaji dan
ditelaah dari berbagai sumber. Dan nantinya sumber yang kuat itulah yang akan
menegakkan sebuah penulisan sejarah”. Wallahu a’lam bissowab. (BanaFatahillah)
Tidak ada komentar: