Dalam
membantu penjelasan dari seluruh pemetaan ilmu syariah, serta berbagai
dasar-dasar pembelajaran pada ilmu shari’ah, rekan-rekan azheema, yang diwakili
oleh al-Ustadz Zia Ul Haq, mengundang Syekh Musthafa Ridho al-Azhari, pada
Sabtu (29/04) untuk membedah secara singkat kitab karangannya yang berjudul “al-Turūq
al-Manhajiyyah fī Tahshīl al-‘Ulūm al-Shar’iyyah”. Majlis ini diadakan di
Masjid Sidi Rifai, dan dihadiri oleh anggota rekan-rekan angkatan kedatangan
2016.
Setelah
penjelasan panjang tentang pemetaan seluruh ilmu, beliau menjelaskan terkait
definisi dari ilmu shariah sendiri. Pada pendefinisian ilmu Shari’ah, ia membuatnya
pada dua bagian. Pertama, yaitu semua kumpulan hukum-hukum yang diturunkan pada
Nabi-Nya melalui perantara wahyu (majmu’āt al-ahkām allati nuzilat ‘an
al-Nabiy min tharīq al-Wahyi). Kedua, yaitu sesuatu yang mengantarkan pada
pemahaman hukum-hukum tersebut (wa mā yuwassilu ilā fahmi hādzihī al-ahkām).
Dan inilah nanti yang akan membagi ilmu pada dua, maqaasid dan wasaail.
Bagian
pertama mencangkup hukum-hukum kepercayaan (i’tiqādiyyah), seperti ilmu
aqidah, lalu pekerjaan (amaliyyah), seperti ilmu fiqih dan yang terakhir
tabiat (wijdāniyyah), seperti ilmu tasawuf. Dan Syekh Musthafa
menjelaskan bahwasanya hukum dalam al-Quran tidak lepas dari perintah untuk
mengesakan Allah, beribadah kepada-Nya, dan pensucian diri atau tazkiyāt
al-Nafs.
Adapun
yang kedua, yaitu ilmu wasail, atau ilmu yang mengantarkan kita pada pemahaman
hukum dan tujuan tersebut. Menurut penulis buku Sayyiduna tersebut, ilmu wasail
dapat kita bedakan menjadi empat. Ada yang memperkokoh keabsahan lisan, seperti
ilmu nahwu, ketajaman dalam berfikir, seperti ilmu mantiq, ketelitian dalam
suatu kepercayaan, seperti ilmu mustolahul hadis, dan intisari pada kesimpulan
sebuah dalil syariah, layaknya ushul fiqih.
“Mana
yang harus lebih didahulukan, ilmu maqasid atau wasail?”, tanya salah seorang
tolabah. Syekh Musthafa mengatakan untuk
terus membarenginya secara bersamaan. Namun akan lebih baik jika didahulukan
dengan ilmu wasail, karena akan membantu banyak ketika masuk pada ilmu maqasid.
“akan susah bagi mereka yang mempelajari fiqih, tanpa mempelajari bahasa”, ujar
beliau.
Selanjutnya beliau menjelaskan apa-apa
yang menjadi asas atau rukun dari sebuah ilmu, yaitu murid (al-Thālib), guru
(al-Ustādz), buku (al-Kitāb), metodologi pembelajaran (manhajiyyat
al-Ta’allum), dan lingkungan belajar (al-Biiat al-Ilmiyyah). Dalam penjelasan
tentang belajar dengan guru, beliau menegaskan betapa pentingnya belajar dengan
guru, sebagai sebuah sanad. “al-Ulūm al-Shar’iyyah mabniyyun ‘alā al-Musyāfahat
wa al-Talaqqi” (Ilmu-ilmu syariah haruslah didasari dengan dialog dan talaqqi),
atau belajar dengan guru, tegas beliau.
Ibnu
Mubarok mengatakan : “al-isnādu min al-Dīn lau lā al-isnādu laqāla man syaa
mā syaa” (sanad adalah bagian dari agama, kalau tidak adanya sanad maka
semua orang bisa berkata apapun).
Diakhir,
beliau menjelaskan secara singkat tentang manhajul ilmi, yang mana merupakan
metodologi yang dipakai oleh Azhar sebagai manhaj yang wasati. Ia adalah
pandangan menyeluruh yang dibangun dari berbagai prosedur – dari keseluruhan
faktor ilmu, alat-alat ilmu, dan bagaimana agar bisa mendapatkannya. “ketika
kita sudah paham sebuah manhaj ilmi, maka kita akan terjauh dari sifat-sifat
yang menjadikannya bersifat keras”, tutup Syekh Musthafa.
![]() |
Banin Azheema Bersama Syekh Musthafa Ridho al-Azhari |
![]() |
Banat Azheema bersama Syekh Musthafa Ridho al-Azhari |
Tidak ada komentar: