Jika membicarakan masalah masjid, Mesir mungkin bisa
menjadi rujukan yang representatif untuk role model masjid Rasulullah baik dari segi nilai sejarah maupun nilai sosial. Belum lagi karena saking banyak jumlahnya serta beraneka ragam bentuk dan corak khas dinastinya, Mesir sampai dijuluki dengan
‘Negeri 1000 Menara’. Hemm, Julukan tersebut tersebar bukan isapan jempol semata, karena
terbukti hingga kini masjid-masjid tersebut masih tak kurang dari kegiatan,
baik ketika shalat berjamaah maupun ketika terdapat pengajian-pengajian.
Adapun Masjid Al Azhar merupakan salah satu dari puluhan
bahkan ratusan masjid bersejarah di Mesir. Sebenarnya banyak masjid yang lebih
besar dan lebih indah bahkan lebih tua dari masjid Al Azhar namun sejarah dan
peran Masjid Al Azhar dibanding masjid lainnya tampaknya tak akan dapat tertandingi.
Sebut saja masjid Amru bin Al Ash atau yang lebih dikenal masyarakat setempat
dengan Masjid ‘Athiq, yang dibangun oleh Sahabat Amru bin Al Ash pada abad 21
H, dan Masjid Shulthon Hasan yang dibangun pada masa Dinasti Turki Usmany, yang
keindahannya dapat disandingkan dengan Masjid Agha Sophiya di Turki, atau
Masjid Imam Husein masjid disemayamkannya Jenazah Kepala Imam Husein.
Walaupun seindah apapun masjid-masjid tersebut, namun menurut
opini penulis masjid ini akan tampak berbeda dengan masjid lainnya dari
berbagai sisi. Berikut keistimewaan Masjid Al Azhar As Syarief, Mesir dibanding
masjid bersejarah Mesir lainnya.
Masjid Lintas Madzhab
Masjid Al Azhar mulai dibangun pada 24 Jumadil Awal 359 H
(7 Mei 970 M) dan selesai dibangun pada 7 Ramadhan 361 H ( 23 Juni 972 M) oleh
Dinasti Fathimiyyah dibawah perintah Jauhar Ashoqly. Sebagaimana namanya
Dinasti Fathimiyyah menyandarkan nama dinastinya pada anak perempuan Nabi
Muhammad SAW yaitu Fathimah Az Zahra, dan sudah menjadi rahasia umum bahwa Al
Azhar pada saat itu bermadzhab Syi’ah.
40 tahun kurang lebih Dinasti Fathimiyyah leluasa
menyebarkan ideologi Syi’ah di Mesir. Al Azhar saat itu mengambil peranan
penting sebagai Masjid Kerajaan, shalat Jum’at yang dihadiri oleh Khalifah
diadakan di masjid ini. Disana pula dilaksanakan berbagai perayaan keagamaan,
diantaranya Maulid Nabi Muhammad SAW, Maulid Ali bin Abi Thalib, Maulid
Fathimah Zahro dan peringatan hari Asyura dan berbagai perayaan keagamaan
lainnya. Khalifah Mu’iz li Dinillah kerap menjadi Imam disana, tak pelak Azhar
menjadi salah satu tiang tinggi tersebarnya Syi’ah. Dilain sisi Al Azhar juga
menjadi tiang peradaban keilmuan ketika itu, diantara ulama yang tersohor yang
mengajar dan berpengaruh kala itu adalah Ibnu Kals.
Namun dikarenakan kondisi perpolitikan yang kurang
stabil, Dinasti Fathimiyyah harus rela takluk pada Panglima Shalahudin Yusuf
bin Ayub pada Muharram 567 H ( September 1171 M) segala perombakan luar dalam dilakukan
oleh Sholahudin, setelah kurang lebih dua abad menduduki Mesir. Perombakan
dimulai pada corak keagamaan, baik dari sisi aqidah maupun syari’ah. Sholahudin adalah
seorang Sunni yang bermadzhab Syafi’i, dan sangat getol dalam menyebarkan
madzhabnya. Maka dari itu, hal pertama yang dilakukan Sholahudin adalah
menon-aktifkan aktifitas yang dilakukan di Masjid Al Azhar mulai dari Sholat
Jum’at hingga perayaan-perayaan
keagamaan.
Beberapa hal penting juga dilakukan Sholahudin untuk
membersihkan Mesir dari pengarush Syi’ah adalah mencopot Qhodi Syi’ah
dan menggantinya dengan Qodhi Sunni, juga penon-aktifan halaqah-halaqah
belajar Syi’ah dan menggantinya menjadi halaqah Sunni. Dari masa Dinasti
Shalahudin inilah madrasah-madrasah fiqh empat madzhab diperkenalkan di Mesir,
tentunya dengan tetap mengedepankan madzhab Syafi’i. walaupun kegiatan ajar-mengajar
memang sangat minim terjadi di Masjid Al Azhar bahkan hampir tidak ada kegiatan
belajar mengajar disana.
Bukan berarti dengan ditutupnya Al Azhar pada masa
pemerintahan Shalahudin kegiatan keilmuan di Mesir terhenti, Shalahudin
mengambil inisiatif untuk membuka kelas dan madrasah lainnya disekitar Kairo
dan Fusthat. Begitupun raja-raja selanjutnya yang gemar membuka
madrasah-madrasah demi menyebarnya ruh keilmuan di Mesir, sebut saja Madrasah
Jauhariyyah, Madrasah ‘Aini, dan Madrasah Thibrisiyyah.
Singkatnya, pengalaman Al Azhar dengan perbedaan madzhab
menjadikannya lebih dewasa dalam menyikapi permasalah sekarang. Walaupun kini
Allah SWT telah berkehendak menjadikan Al Azhar sebagai menara menyebarnya fiqh
empat Madzhab, namun hal ini tidak sertamerta menafikan bahwa Al Azhar sangat lentur dalam
menyikapi perbedaan khususnya pada madzhab selain yang empat. Nilai-nilai
plurallitas sangat terjaga di Mesir, hal ini menjadi tanda bahwa peran Al Azhar
sangat signifikan dalam menjaga harmoni masyarakat mesir bahkan dunia.
Masjid Akademis Klasik yang Otoritatif
Sejak awal didirikan tepatnya pada masa Nabi Muhammad
SAW, masjid sudah menjadi simbol keilmuan bagi agama islam. Disanalah Nabi
Muhammad SAW menyebarkan nilai-nilai Islam, disana pula Rasulullah
bermusyawarah dan menentukan berbagai hal. Begitupula dengan Masjid Al Azhar,
umurnya yang kini telah lebih dari sepuluh abad telah melahirkan ribuan bahkan
jutaan ulama yang tersebar di jagat raya. Sebut saja Ibn Khaldun, Bapak
Sosiologi ini juga sempat mengajar di Masjid Al Azhar disela-sela rihlah
ilmiyah-nya menapaki negeri-negeri
beliau datang ke Mesir pada tahun 784 H,dan mengajar berbagai ilmu.
Diantara para ulama tersohor lainnya yang telah menginjakan kaki di Masjid Al
Azhar adalah Taqiyyudin Ahmad Al Maqrizi
Syaikh Muarrikh Misry, beliau adalah murid dari Ibnu Khaldun, Ibnu Hajar
Al Asqolani, pengarang Kitab Fathul Bari, Badru-d-Din Mahmud Al Ainy, pengarang
Kitab Umdatul Qori, Jalaludin As Suyuthi, salah satu pengarang dari Kitab
Tafsir Jalalain, dan masih banyak lagi.
Sistem halaqa Talaqqy (sorogan) merupakan ciri
dari majelis-majelis ilmu yang terdapat di Masjid Al Azhar. Masyarikh hadir dengan buku dan murid dengan
khusyuk memperhatikan dan mencerna setiap kata yang keluar dari mulut Syeikh.
Metode pembelajaran talaqqy ini merupakan asal dari metode pengajaran
islam secara keseluruhan. Berawal dari Malaikat Jibril yang langsung memberikan
wahyu pada Rasulullah SAW hingga turun pada Sahabat, tabiin dan terus sampai
ilmu tersebut sampai pada ulama-ulama kita pada zaman ini.
Sistem pembelajaran musannadah ini telah berhasil
Al Azhar pertahankan dari semenjak dibangunnya Al Azhar hingga zaman ini. Hal
ini amat sangat penting dalam khazanah keilmuan Islam, dimana pemahaman Sang
Murid harus sesuai dengan metode dan sistem yang telah ditetapkan oleh
syari’at. Ibu Mubarak Berkata: “Jika tidak ada sanad, akan berkata siapapun dia
apapun yang akan dikatakannya”. Dari
metode ini pula Al Azhar kokoh berdiri pada asas yang dalam dan mengakar bahwa
pemahaman yang benar tentang agama merupakan cikal bakal tercitanya kondisi
masyarakat yang baik.
Dalam sistem halaqah talaqy ini Setiap guru
(Syeikh) telah uji layak dan kecapakan sesuai standar operasional ketat yang
ditetapkan Al Azhar, diantaranya ketakwaan dan akhlaq mulia, telah menguasai
ilmu-ilmu alat, wasail dan maqashid serta telah memiliki sanad
yang jelas untuk mengajarkan pada para murid. Praktek realnya kini dapat
ditemukan di Masjid Al Azhar sendiri. Setiap majelis ilmu telah disusun rapih
dengan sistem penjadwalan yang teratur, tenaga pengajar telah ahli dibidangnya,
hingga hierarki keilmuan murid telah diatur sedemikian rupa agar memudahkan
para murid yang datang dari berbagai negeri mengikuti sistem pengajaran di
Masjid Al Azhar.
![]() |
kegiatan talaqqi di Masjid Al Azhar |
Masjid Rujukan Masyarakat Dalam Hukum
Sudah menjadi keharusan bagi seorang untuk ulama selalu
hadir ditengah masyarakat, perannya sebagai sumber hukum dan penjelasan merupakan
yang sangat substansial bagi masyarakat umum. Karena Nabi Muhammad SAW telah
berpesan bahwa ulama adalah pewaris para Nabi. Nabi diutus sebagai pengajar
maka ulama berkewajiban untuk mengajarkan perihal agama pada masyarakat
setempat. Masjid sebagai asas ketakwaan merupakan rujukan bagi setiap umat
muslim dalam mengatasi setiap perkara.
Begitupun Masjid Al Azhar, dengan maksud mengimbangi
gencarnya perubahan yang terjadi di dunia yang memaksa lahirnya
permasalah-permasalah yang semakin banyak maka dan juga demi tercapainya maksud
masyarakat sekitar untuk mendapatkan legitimasi hukum yang jelas maka Masjid Al
Azhar memiliki lajnah Ifta, Bagian Pengurusan Fatwa. Siapapun dapat
mengajukan pertanyaan perihal agama pada Masyayikh yang selalu sedia
menjadi sumber hukum yang dapat dipercaya. Meskipun Al Azhar sendiri memiliki lembaga khusus
Fatwa yang bersifat lebih umum yaitu Dar-l-Ifta, lembaga fatwa milik Al Azhar
ini kerap menjadi acuan berbagai negara dalam menentukan hukum dalam setap
permasalahan.
Dengan ini peran Masjid Al Azhar semakin terlihat di
masyarakat. Hal ini tentunya semakin menampakkan peran sesungguhnya masjid,
yaitu sebagai asas dari ketakwaan tadi (At Taubah 108).
Masjid tidak hanya sebagai simbol tempat peribadatan namun juga menjadi simbol
peradaban.
Masjid Warisan Arsitektur Islam Yang Fenomenal
Seperti telah disebutkan diatas jika disebut Mesir, maka
kita langsung membayangkan negeri seribu menara, tentunya menara-menara
tersebut mayoritas merupakan menara masjid. Uniknya, semua masjid yang ada di
Mesir memiliki ciri khas masing-masing. Yang paling menonjol adalah gaya
arsitekturnya. Setiap Dinasti yang berkuasa memiliki gaya arsitektur yang membedakannya
dari dinasti kerajaan lainnya.
Begitupun Masjid Al Azhar, masjid yang dibangun pada masa
Dinasti Fathimiyyah ini telah beberapa kali mengalmi perluasaan dan peremajaan.
Diantara perluasan besar adalah yang dilakukan adalah pada masa Turki
Usmani (April 1776), pada masa Amir Abdurrahman KuthKhuda. Perubahan yang dilakukan cukup
signifikan, yaitu sekitar setengah luas Masjid Al Azhar ketika itu. Maka tidak
heran jika ukiran, dan kaligrafi yang menghiasi dinding masjid sangat
bervarian.
Begitulah Masjid Al Azhar, wujudnya bukan sebatas lambang
sebuah dinasti yang berkuasa pada zamannya, layaknya Masjid Ibnu Thoulun yang
kini hanya seonggok bangunan besar yang bahkan untuk kegiatan sholat lima waktu
saja tidak ada. Atau bukan hanya sebatas monumen sejarah kedatangan Islam di
tanah Mesir layaknya mesjid Amru bin Ash. Masjid Al Azhar merupakan simbol
keilmuan dan simbol peradaban yang hingga kini masih dapat dinikmati dan
disaksikan.
Masjid Simbol Keilmuan Islam Dunia
Inilah poin terpenting yang ingin penulis sampaikan.
Tetapi, Mengapa dunia? Mungkin banyak yang mempertanyakan dan mepersoalkan. Dunia
telah menjadi saksi bahwa Islam Moderat disebarkan melalui tiang-tiang masjid
Al Azhar. Semua bisa dibuktikan melalui aktifitas yang berjalan sehari-harinya
di Masjid Al Azhar. Dimulai dari aktifitas pembelajaran rutin yang diadakan
oleh Masyarikh (Dewan Guru) Masjid, pelajaran-pelajaran yang diutamakan adalah
pelajaran yang membangun intelektualitas murid.
Murid tak akan disodorkan dengan pelajaran yang memberatkan
kadar pemahamannya, apalagi untuk sekedar mengetahui seluk-beluk permasalahan ikhtilaf.
Guru kami di Al Azhar mengajarkan bahwa sangat tidak dianjurkan bagi seorang
penuntut ilmu untuk memulai langkahnya dengan perbedaan pendapat. Sebaliknya,
Al Azhar sangat menganjurkan muridnya untuk memulai memahami agama dari hal-hal
kecil, dimulai dari matan-matan, buku-buku ringan dan hafalan Al Quran. Dari
basis ilmu yang dasar ini perlahan penuntut ilmu akan meningkat sesuai dengan
kemampuannya masing-masing.
Dilain sisi para imam yang memimpin agenda sholat lima waktu
pun telah terseleksi dengan ketat. Dimulai dengan basis Qiraah yang
dikuasai, hampir semua imam telah menyelesaikan Qiraaah Asyrah. Maka tak
heran jika jama’ah akan disodorkan berbagai macam jenis qira’ah dalam
setiap sholawat jahriyah (shubuh, maghrib, isya). Lantas para imam pun
telah siap untuk mendengar keluh kesah para jamaah baik mereka tholibul ilmi
ataupun masyarakat sekitar.
Selain itu Masjid Al Azhar sangat peka terhadap syi’ar-syi’ar
keagamaan. Hampir disetiap perayaan hari-hari besar Islam pengurus Masjid Al
Azhar akan mengadakan sebuah upacara ringan atau peringatan. Al Azhar tidak
pernah mempermasahkan perbedaan pendapat tentang perayaan hari-hari tersebut. Karena
disamping Al Azhar melakukannya atas dasar dan dalil yang jelas, dan juga Al
Azhar meyakini bahwa syiar-syiar islam harus selalu dijaga untuk mengimbangi
pengaruh dan arus buruk perayaan-perayaan lainnya.
Akhirnya penulis ingin mengutarakan bahwa tulisan ini
bagai buih yang tak bernilai dibanding gulungan ombak kebaikan yang diberikan
Masjid Al Azhar pada dunia. Sebagai buktinya, sudah tak terhitung lulusan
Masjid Al Azhar yang mewarnai pemikiran dan peradaban islam dunia. Sementara Universiatas Al Azhar? Universitas
Al Azhar yang ada sekarang layaknya anak dari Masjid Al Azhar, namun asal tak
mungkin terganti oleh apapun dan siapapun walaupun begitu baiknya pencapaian
cabangnya. Sekian Wallahua’lam.(ibnuidris)
Tidak ada komentar: