Oleh: Fathan Fadlurrahman
Bukan hal baru memang
Somad tidak mengambil gaji, hanya saja mengabaikan haknya atas hasil jerih
payahnya selama satu bulan begitu saja sangatlah tidak wajar, bahkan dalam
kurun waktu satu semester terakhir ia hanya mengambil sebagian kecil dari gajinya
dalam sebulan. Sudah hampir dua tahun Somad
bekerja di restoran berbintang itu, dan selama itu pula ia menolak untuk
mengambil gajinya.
“Somad, Pak Bos memanggilmu di kantornya,”
kata salah satu rekan kerjanya. Somad hanya tersenyum tipis sambil merapikan
baju dan kemudian beranjak menuju kantor Bosnya.
“Somad, kemari dan duduklah!”
terdengar suara pria berpawakan gagah yang biasa dipanggil karyawannya Pak Bos
mengiringi suara pintu yang baru saja dilalui Somad.
Tanpa memberi respon lisan
Somad segera mengambil sikap, duduk di satu-satunya kursi yang ada di ruangan
itu selain kursi Bosnya, mengatur ritme
nafasnya, dan sedikit menundukkan pandangannya yang memberi kesan hirarkris
antara ia dan Bosnya.
“Saya ingin bertanya, kenapa
kamu menolak gajimu lagi kali ini?” tanya Bosnya sambil menatap Somad keheranan.
Somad terdiam sejenak, “Saya
sudah bilang ke Bapak, saya tidak berhak
mengambil uang ini, Pak, ” jawab Somad singkat.
Masih dalam raut muka
keheranan, tiba-tiba Pak Bos menghela nafas panjang
dan menyandarkan punggung sekaligus rasa penasarannya ke kursi.
“Baiklah kalau memang
jawabanmu masih sama,” kata Pak Bos sambil memasang tatapan
kosong.
”Sekarang pulanglah ke
rumah, besok kita buka pukul sepuluh pagi! Karena sekarang sudah malam dan
waktunya untuk istirahat,” imbuh Pak Bos dengan tatapan yang sudah terisi
bulatnya jam dinding yang menunjukkan pukul sebelas.
“Baik Pak, saya pamit dahulu!”
Jarum pendek pada jam dinding
mulai bergerak perlahan, Pak Bos keluar dari tempat kerjanya beberapa saat
setelah Somad keluar. Di perjalanan ia terus memikirkan jawaban dari Somad
salah satu pegawai yang termasuk kategori rajin dibanding yang lainnya, mengapa
ia selalu mengatakan bahwa uang gajinya bukanlah haknya.
Di bawah cahaya rembulan
yang dikalahkan pijar lampu perkotaan, di salah satu sudut yang tidak mendapat
kedua cahaya tersebut ia melihat Somad memberikan sesuatu kepada seseorang, ia
hanya memperhatikan dari jauh tanpa mengetahui siapakah itu. Sejurus kemudian
keduanya berjalan beriringan menyusuri gang-gang gelap, diikutilah Somad dari
belakang hingga di ujung kegelapan ia sampai pada sebuah restoran di pinggiran
kota, restoran yang tampak sangat biasa, tidak besar maupun kecil. Curiga
dengan apa yang dilakukan Somad terlebih dengan mendeduksi informasi seadanya
dari apa yang ia lihat dengan fakta bahwa Somad enggan mengambil gajinya,
berbagai kemungkinan dapat dihasilkan. Ia putuskan menyelidiki.
Cukup lama mengintai,
akhirnya ia melihat Somad berjalan keluar dari restoran itu. Sebagai seorang bos
sudah selayaknya ia hafal betul keseharian Somad selama ini, setiap pagi Somad
selalu datang lebih awal di antara pekerja lainnya. Setiap sore ketika tidak
banyak pengunjung, selalu izin keluar dan kembali sebelum petang, dan jika
tidak diizinkan pun tidak akan tampak raut muka marah ataupun kecewa, selalu
pulang lebih malam di antara pekerja lainnya dan meninggalkan tempat kerja
dengan keadaan bersih. Walaupun terdengar wajar namun ada sesuatu yang berbeda
antara Somad dengan pekerja lainnya, perbedaan yang tak dapat diungkapkan
dengan kata, tentunya selain keengganannya
mengambil
gaji.
Rasa penasaran Pak Bos
memuncak sampai ke ubung-ubun, ia tidak sanggup menahannya lagi, ia putuskan
untuk bermain sebagai Holmes dan menganggap Somad sebagai Moriarty-nya.
Alih-alih memulai langkah pertama dan selanjutnya dengan perlahan tapi pasti,
menyelinap, mengendap-endap di belakang restoran misterius tersebut mencari
celah dan sebagainya, justru dengan percaya diri dia nyelonong masuk
dari pintu depan.
“Akan sangat mudah untuk
mengetahui keberadaan musuh ketika ia jelas-jelas melawan, namun akan menjadi
sulit jika musuh yang nantinya akan menelikung dari belakang saat ini sedang
datang sebagai kawan,” ujar Pak Bos dalam hati.
Setelah masuk alangkah
terkejutnya, ia tidak mendapati seorang pun di dalam sana. Jam yang sudah
menunjukkan lewat tengah malam membuat suasana semakin mencekam, ditambah
lokasi restorannya yang berada cukup jauh dari pusat keramaian. Sambil menahan
rasa takutnya ia mengambil tempat, duduk di salah satu meja yang ada. Diselimuti
seribu pertanyaan, di tengah-tengah kebingungan itu tiba-tiba pandangannya
tertuju pada selembar kertas yang tergeletak di atas meja, sebuah daftar menu
dengan tulisan yang amat mencolok di covernya, “RESTORAN MANUSIA”.
Ia terkejut setengah mati, keringat dingin mulai bercucuran dan “Gerentang!” terdengar suara perkakas
dapur yang jatuh.
“Siapa disana ?” tanya Pak Bos setengah teriak.
Ketika itu juga sudah
berdiri di hadapannya seorang kakek tua dengan punggung agak bungkuk, rambut
putih dan guratan-guratan di wajah yang bersama gelapnya malam menelan rona dan
pancaran semangat kehidupan dari mukanya.
Kakek tua itu menatapnya
agak lama sampai akhirnya ia mengucapkan sebuah kalimat dari mulutnya yang
hampir sudah tak bergigi “Monggo Pak, silahkan ambil sendiri
saja!”
“Mbah, mbah siapa
? Mbah ngapain di tempat ini?”
“Saya Kijun, saya jaga malem
di sini pak, kalo bapak pelanggan silahkan saja ambil sendiri !”
“Oh maaf mbah sudah bikin salah
sangka, sebenarnya saya ke sini cuman mau mencari tahu tentang Pak Somad mbah,
pak Somad yang barusan keluar dari sini mbah!”
“Kalo pak Somad itu,
pemilik restoran ini pak!”
“Pemilik restoran?”
“Iya pak, jadi
pak Somad lah yang sudah mendirikan restoran ini, walaupun restoran ini tidak
terkenal namun restoran ini sudah banyak membantu kami para orang pinggiran dan
tuna wisma. Dahulu kami hanyalah seorang pengemis, seorang fakir miskin yang
tidak memiliki apapun, hingga pada suatu saat datang pak Somad memberikan kita
makanan, mengajarkan kita banyak hal dan memberikan kita pekerjaan.”
Percakapan pun berlanjut
antara Pak Bos dan mbah Kijun, ia menjadi tahu tentang apa sebenarnya di
balik gelagat Somad selama ini, dan bahwa setiap pelanggan Restoran Manusia jika
merupakan orang-orang yang tidak mampu membayar makanannya, mereka selalu
datang lewat pintu depan dan kemudian langsung menuju dapur, mengambil
makanannya sendiri dan keluar dari pintu belakang.
Terlalu asyik bercerita
mereka tidak terasa tarhîm subuh sudah terdengar, dan saat itu Somad sudah
berdiri tepat di depan mereka.
“Assalamualaikum!”
sapa Somad kepada Bosnya dan pegawai restorant.
“Waalaikumsalam!”
jawab keduanya secara bersamaan.
“Somad pas sekali kamu disini,
saya ingin bertanya kepadamu, sebenarnya saya penasaran sama kamu dan banyak
hal yang membuat saya bingung, dari caramu bekerja di restoran saya, menolak
uang gajimu, dan ternyata kamu memiliki restoran lain ditempat ini. Mengapa
kamu melakukan semua ini?”
“Mungkin sekarang
saatnya saya bercerita kepada Bapak. Pertama, saya ingin bercerita mengapa saya tidak ingin mengambil uang gaji saya.
Sebenarnya hampir setiap hari saya memberikan makanan kepada pengemis dan fakir
miskin di sekitar restoran bapak, saya sengaja datang pagi dan pulang malam
agar tidak ada yang melihat saya memberikan makanan, karena saya takut merusak
citra restoran bapak, itulah mengapa saya tidak mau mengambil uang gaji saya,
karena uang itu sudah saya belikan untuk makanan para pengemis tersebut.”
“Lalu, mengapa kamu
bekerja di tempat saya sedangkan kamu memiliki restoran?”
“Sebenarnya bukan saya
pemilik restoran ini, namun restoran ini milik seluruh umat manusia. Semua
makhluk di dunia ini berhak mendapatkan kehidupan, mereka yang memiliki uang
dapat membeli apa yang mereka inginkan, tetapi sedikit dari kita yang
memikirkan bagaimana saudara kita yang tidak memiliki apapun, baik itu makanan
maupun tempat tinggal. Saya sengaja bekerja di tempat bapak hanya untuk memberikan
makanan kepada para fakir di daerah sana, maaf pak apabila saya melakukan
banyak kesalahan dalam bekerja di tempat bapak. Keinginan saya hanya ingin
melihat mereka bahagia mendapatkan apa yang sulit mereka dapatkan, walaupun
sebenarnya bukanlah saya yang memberikan mereka kehidupan, saya hanya
menyampaikan titipan yang seharusnya milik mereka dan memberitahu bahwa ini
semua adalah dari Allah Swt.”
Meneteslah air mata dari
bos restoran bintang lima
itu. Ia hanya terdiam, termenung, dan memikirkan
apa yang tidak pernah terpikir olehnya. Sambil terisak ia mengatakan, “Kalau
begitu, menurut kamu apa restoran saya juga bisa disebut restoran manusia? Atau
justru restoran yang hanya fisiknya saja, fisik juru masak, pelayan, pembeli
bahkan bosnya yang berwujud manusia namun hilang kemanusiaannya?”
Tidak ada komentar: