Oleh: Sayidulqisthon*
Pasar teknologi yang begitu menjanjikan
meningkatkan daya saing antar developer baik perangkat keras maupun
lunak dengan mengeluarkan produk-produk terbarunya, sebagai konsumen sudah
sewajarnya penulis tertarik dengan setiap yang baru. Produk baru, baju baru,
rumah baru, pemimpin baru, pengantin baru, tahun baru. Hampir semua bergembira,
bersuka cita dengan hal-hal baru, bahkan tenggelam dalam euforia. Di setiap
pertemuan bersama kami, Dr. Ahmad Azhary sering mengatakan hal serupa. Bahwa di antara
sebab media sosial memiliki candu
tersendiri, adalah informasi terbaru atau
up to date yang selalu disajikan (baik sekedar curhatan pribadi, iklan
dan juga berita; benar ataupun hoax).
Berangkat dari kata “baru”, di antara padanannya adalah kata “modern”. Dalam kajian filsafat, istilah modern mewakili titik ukur masa perkembangan filsafat barat.
Dr. Hamid Fahmy mengungkapkan bahwa istilah modern ini
disematkan pada zaman kejayaan Barat setelah Dark Age di Eropa (Misykat,
hal. 65). Jika modern (red: baru) merupakan Barat, lantas istilah apa yang bisa mewakili Timur dengan segala budaya dan peradabannya? Mungkin anda tidak asing lagi
dengan istilah turats atau turats Islam yang bisa juga diartikan secara harfiah
sebagai tradisional. Akan tetapi sebagai sebuah istilah, turats (Islam) memiliki
makna tersendiri yaitu segala hasil peninggalan generasi terdahulu yang sampai
kepada umat Islam dalam rentang waktu seratus tahun lalu (Lihat Al-Ṭariyq ilâ Al-Turâts, cetakan Dar el-Nahd Masr hal. 19).
Pembahasan turats Islam bukanlah hal yang benar-benar
baru, sudah banyak karya ulama dan cendekiawan (muslim atau bukan) yang membahas
turats Islam, baik dari golongan yang meneguhkan keabsahan turats Islam
sebagai rujukan pembangunan atau dari golongan yang meneguhkan ke-tidak
layak-annya. Ketika menginjakkan kaki ke
dalam pembahasan turats Islam ini, kita akan disuguhi berbagai dakwaan yang
ditujukan pada turats Islam, seperti: bahwa turast Islam merupakan wujud kegagalan peradaban Timur (Islam),
atau turats Islam merupakan
sebab ketertinggalan Timur dari kencangnya kemajuan pembangunan Barat dan
sebagainya.
Sayangnya, dakwaan-dakwaan seperti inilah yang kemudian
cukup populer dan akan mendapatkan tempat tersendiri di benak “kawan-kawan saya”
yang terjangkit virus cinta buta kepada pemikiran Barat. Karena dengan
menjatuhan otoritas dan kuasa turats Islam, akan terjadi vacuum of power, yang kemudian akan diisi
oleh literasi dan produk-produk impor dari peradaban modern Barat. Namun
banyaknya peminat saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa dakwaan di atas
adalah mutlak dan tanpa celah. Sebagaimana di pasaran operating system
perangkat komputer, luasnya jangkauan pemasaran Windows belum cukup untuk membuktikan
bahwa semua produknya berada di atas awan, karena dalam beberapa hal produk Macintosh
atau bahkan Linux mampu mengungguli Windows.
Imâm Akbar Al-Azhar, Syeikh Ahmad At-Thayib (dengan rendah hati) menyebutkan dalam
karyanya yang menjawab pandangan Dr. Hasan Hanafi tentang turats Islam bahwa seharusnya
dalam tuduhannya terhadap turats tidak memukul rata dan memberikan pengecualian
untuk ushul turats (seperti iman pada qaḍâ` dan qadar) pada kritikannya yang mengatakan bahwa turats merupakan sebab sebenarnya
dari ketertinggalan dan kemunduran peradaban (Lihat Al-Turâts wa Al-Tajdîd,
cetakan Dar al-Qud al-‘Araby hal. 19).
Syekh Ahmad At-Thayib menyatakan bahwa sebab dari
hal ini adalah konsep dasar tentang turats dalam pandangan Dr. Hasan Hanafi dibangun dari penerapan turats oleh sebagian golongan, padahal
sampel dari sesuatu bukanlah hal substansial dari hakikat sesuatu tersebut.
“Padahal ini merupakan dasar yang digunakan dalam tuduhan (terhadap turats),
juga merupakan titik perbedaan antara kami dan mereka,” ungkap Syekh Ahmad At-Thayib.
Metode yang digunakan Imam Akbar merupakan
bentuk hikmah dari ayat:
ادع إلى سبيل ربك بالحكمة و الموعظة الحسنة
وجادلهم بالتي هي أحسن )النحل 125:[16])
Yaitu dengan mempersempit ruang diskusi dan
menariknya sampai ke ranah mendasar atau asasi (awwaliyyât) yang menjadi
titik awal perbedaan antar pendapat. Sayangnya tidak semua orang cocok dengan jenis
obat yang sama, pun demikian dalam hal ini, ada yang cocok dengan hikmah,
ada lebih cocok dengan maw’iḍoh hasanah (jawaban retorik)
dan ada pula yang lebih cocok dengan mujâdalah (jawaban dialektis).
Hikmah ataupun maw’iḍoh hasanah nampaknya bukan
obat yang tepat untuk “kawan-kawan saya” ini. Maka dari itu alangkah baiknya kita
beranjak dari hikmah dan maw’iḍoh hasanah menuju mujâdalah,
“wa jâdilhum bi al-laty hiya ahsan”.
Dr. Ahmad Azhary mengatakan (dalam makna) bahwa
jika memang maksud dan tujuan utama dari peruntuhan citra turats Islam (dengan
mendakwa bahwa turats merupakan seburuk-buruk hasil tradisi intelektual
manusia) adalah untuk menggantikannya dengan produk modern, untuk menjawabnya cukup
lakukan serangan balik dengan senjata mereka sendiri, yaitu dengan menggunakan premis
(muqaddimah) yang dijadikan dasar dari dakwaan, sebagai landasan untuk
membangun jawaban.
Sebelum memberikan jawaban, mari sedikit
menganalisa dakwaan dengan mengurainya menjadi setidaknya dua silogisme (qiyâs
manthiqiy): Pertama, turats Islam telah membelenggu kebebasan
berfikir (muqaddimah ṣughra/premis mikro), dan setiap yang
membelenggu kebebasan berfikir atau jumud merupakan hal yang buruk (muqaddimah
kubra/premis makro), maka turats Islam merupakan hal yang buruk (natîjah).
Dan sebaliknya pada silogisme kedua, pemikiran Barat tidak membelenggu
kebebasan berfikir (muqaddimah ṣughra/premis mikro), setiap yang tidak
membelenggu kebebasan berfikir merupakan baik (muqaddimah kubra/premis
makro), maka pemikiran Barat merupakan hal yang baik (natîjah ).
Kemudian jawaban dengan metode mujâdalah atas
dakwaan ini cukup dengan manyampaikan fakta-fakta yang kontradiktif dengan
premis-premis dakwaan. Seperti fakta bahwa Mukhtar Ibnu Butlan al-Baghdadi
(Yohanes), seorang filsuf sekaligus pakar kedokteran kristen lebih percaya dan menjungjung
tinggi metodologi belajar bersanad yang diwarisi dari umat Islam terdahulu dan
menjadi ciri khas tradisi keilmuan Islam daripada metode belajar autodidak,
memahami secara mandiri langsung dari buku.
Ia menyatakan kalau saja dua murid Aristoteles,
Theoprastus dan Eudemus tidak menerima ilmu secara langsung dari gurunya,
mereka tidak akan memahami apapun dari bukunya (Lihat Risalah Fadhlu Man
Laqiya ar-Rijâl ‘ala Man Darasa fî al-Kitâb dalam buku Ihyâ`u Sanad
al-‘Ilmi). Inilah metode yang digunakan Nabi Musa as. untuk menjawab
dakwaan Fir’aun bahwa ia memiliki kuasa atas hidup-mati seseorang sebagaimana
Tuhan, “Tuhanku menerbitkan matahari dari timur dan membuatnya terbenam di
arah barat, (kalau memang engkau memiliki kuasa sebagai mana Tuhan)
datangkanlah matahari dari arah barat.”
Dengan begini setidaknya akan menutup celah “kawan-kawan
saya” untuk berkilah, karena memang itulah tujuan dari mujâdalah. Dan
dengan tertutupnya celah tersebut setidaknya akan menutup pula lubang jebakan logical
fallacy (kesalahan berfikir), yang oleh Imam Ghozali diungkapkan sebagai
celah masuknya bisikan setan untuk mengaburkan kebenaran.
Adapun dengan meneguhkan keabsahan turats sendiri
tidak serta merta kata baru atau pembaharuan harus dijauhi sepenuhnya, Imâm
Akbar sendiri mengungkapkan bahwa beberapa hal dalam turats selain
yang asasi seperti Iman dan sebagainya ada hal-hal kecil yang bisa menerima
pembaharuan secara bertahap dan terstruktur. Karena sejarah pun mencatat bahwa
perkembangan dan pembaharuan yang ada dalam turats Islam ber-sifat evolution
(perkembangan perlahan nan terstruktur tanpa mengabaikan peninggalan dari umat
terdahulu) bukan revolution (perubahan secara menyeluruh yang dilakukan
dalam satu waktu dengan mengganti semua yang sudah ada dengan yang baru).
Bahkan jika memang yang mampu kita fikirkan hanya hal-hal yang bersifat materi,
perkembangan dunia IT mengajarkan bahwa internet yang kita nikmati terlahir
dari ARPANET (jaringan keamanan Amerika Serikat) yang mengalami evolusi secara
bertahap. Wallâhu a’lam bi as-Ṣawâb.
*Penulis adalah Mahasiswa Jurusan Aqidah Filsafat Universitas al-Azhar, Kairo.
Tidak ada komentar: