Oleh :
Bana Fatahillah*
Budaya tulis menulis dalam Islam
sudah ada sejak masa para sahabat. Rasulullah Saw. mampu menyulap Bangsa Arab dari yang awalnya buta akan
baca tulis, menjadi pribadi yang selalu haus akan membaca dan menulis. Semua
perkataan yang terlontar darinya—baik itu perkataan beliau sendiri ataupun
wahyu Allah (Kalâmullâh)—segera ditorehkan oleh para sahabat dengan
berbagai cara; ada yang menuliskannya di atas lembaran-lembaran, kulit-kulit
hewan, bebatuan, hingga batang pohon. Nabi pun hingga pernah melarang sahabat
menulis perkataannya karena takut bercampur dengan firman Allah Swt. Namun itu
semua belumlah terlaksana secara sitematis dalam bentuk pembukuan seperti sekarang.
Selain
keterbatasan sarana, dan belum terfikirkannya hal-hal sedemikian rupa,
penulisan sistematis belum dilaksanakan karena
saat itu ilmu pengetahuan masih bermakna kepemilikan (malakah), yakni
suatu sifat khusus yang melekat pada pribadi seseorang (ṣifatun râsikhatun
fî al-Dzihn). Mereka tidak membutuhkan ilmu fikih, bahasa ataupun tasawuf, sebab
itu semua sudah ada pada diri mereka. Para sahabat tidak akan faham istilah asbabu
nuzul, nahwu, ushul fikih, fikih dan lain sebagainya, karena itu adalah istilah
yang dibuat pasca kehidupan mereka. Adapun penulisan sistematis, yakni kutub
al-Turâts, menurut Syekh Ali Jumah, baru dimulai saat dibentuknya berbagai
disiplin ilmu pengetahuan, yaitu akhir abad ke-2 H hingga masa Syekh Ibrahim al-Bajuri
(w. 1277 H.) (Al-Madkhal ilâ Dirâsah al-Madzhab al-Fiqhiyyah : 16)
Seorang
ulama kontemporer asal Iraq bernama Dr. Abdul Karim Zaidan (w. 2014) membagi masa keberagaman dan corak kepenulisan
turats tiap masanya —yang secara zahir ditulis dalam bentuk pembagian masa perkembangan
fikih— menjadi enam periode, yaitu: (i) Rasulullah Saw., (ii) Khulafaur rasyidin,
(iii) setelah Khulafaur rasyidin sampai awal abad ke-2 H atau sebelum runtuhnya
Bani Umayyah, (iv) awal abad ke-2 H sampai pertengahan abad ke-4, (v) dari
pertengahan abad ke-4 sampai runtuhnya Baghdad oleh Tatar tahun 656 H (vi)
setelah runtuhnya Baghdad sampai saat ini. (Al-Madkhal Li Dirâsah as-Syarî’ah
al-Islâmiyyah : 101-102).
Karena
belum adanya penulisan sistematis seperti turats pada masa Nabi dan baru
dimulai pada akhir abad ke-2, maka keenam masa tersebut dapat diringkas menjadi
tiga fase, yakni; (i) pasca khulafaur rasyidin hingga pertengahan abad ke-4 (ii)
pertengahan abad ke-4 hingga runtuhnya Baghdad, (iii) setelah runtuhnya Baghdad hingga saat ini.
Pasca
Rasulullah wafat, pembahasan fikih semakin bertambah dengan bertambahnya
kejadian dan perkara, yang mana dari setiap kejadian tersebut dibutuhkan sebuah
hukum; baik itu dari sumbernya (al-Qur `an
dan Sunnah) maupun hasil ijtihad. Pada fase inilah para mujtahid mazhab beserta
para muridnya mulai meletakkan kitab-kitab fikih periode pertamanya sebagai
buku induk setiap ilmu, seperti al-Mudawwanah milik Imam As-Suhnuh pada
mazhab Maliki, Al-Fiqh al-Akbar
milik Abu Hanifah, Al-Umm milik Imam Syafi’i, atau Al-Jami’
al-Khallal milik Imam al-Khallal pada mazhab Hambali. Buku-buku ini diletakkan
dengan tujuan untuk membentuk suatu disiplin ilmu tertentu atas hasil observasi
mereka dari setiap permasalahan yang ada pada masanya, dan nantinya dipakai sebagai
rujukan bagi para murid-muridnya.
Tidak
hanya pada fikih. Pada saat itu dimulailah kodifikasi hadis-hadis menjadi satu
kitab. Diantaranya adalah metode penulisan hadis dengan corak ṣohîh dan musnad;
seperti yang kita kenal sekarang dengan Kutub al-Sittah, yaitu; Imam
Bukhari (w. 256 H), Imam Muslim (w. 261 H), Abu Daud (w. 275 H), Imam Tirmidzi
(w. 279 H), Imam Nasa’i (w. 330), dan Imam Ibnu Majah (w. 273). Dalam
perkembangan ilmu bahasa Arab, Imam Sibawaih (180 H) meletakkan al-Kitâb-nya
sebagai buku induk dalam Nahwu, Imam Syafi’i (w. 204) menulis al-Risâlah
dalam Ushul Fikih, begitupun Imam Asy’ari (w. 324 H) yang merakit Ibânah fî
Uṣûl al-Diyânah sebagai buku induk dalam Ilmu Kalam dan juga buku-buku
lainya yang telah dirancang sedemikian rupa sesuai disiplin ilmu masing-masing.
Berbeda
dengan generasi diatas, pada periode selanjutnya mereka sudah tidak lagi
meletakkan disiplin-disiplin ilmu dalam kitab induk tersendiri, melainkan lebih
menelisik untuk mengembangkan apa-apa yang telah dibuat oleh guru-guru mereka. Mereka
semua mencoba mengumpulkan beragam persoalan yang bersifat parsial (juz’iyyât)
menjadi satu kaidah yang bersifat universal (kulliyyât), agar tidak
terjadinya kontradiksi suatu hukum dengan hukum lainnya dalam
permasalahan-permasalahan yang terus bertambah.
Dalam
kaidah fikih, misalnya, awalnya kaidah fikih tidaklah disusun secara
sistematis, melainkan hanya disebutkan oleh Imam Syafii dan Imam Abu Yusuf (murid
Abu Hanifah)—tidak secara tersurat —dalam dua kitabnya al-Umm dan al-Kharrâj.
Lalu datanglah ulama-ulama mazhab yang berusaha menggali kaidah-kaidah tersebut
menjadi sesuatu yang tertata, seperti Imam al-Juwayni (w. 438) yang menulis
sebuah kitab al-Furûq, kitab kaidah fikih pertama dalam mazhab Syafi’i. Langkah
al-Juwayni kemudian diikuti oleh Ahmad al-Jurjani (w. 482) yang juga menulis
kitab bernama al-Furûq, begitu pula dengan Muhammad Al-Jajurmi (w. 613)
yang merakit kitab al-Qawâid fî al-Furû’ al-Syâfi`iyyah dalam kaidah
fikih juga ulama mazhab lainnya. (Formulasi Nalar Fiqih : 42-45)
Dr. Abdul Karim menyebutkan
bahwa diantara sumbangsih generasi ini adalah; (i) memberikan alasan (ta’lîl)
tiap hukum yang telah diriwayatkan; karena tidak semua hukum yang diberikan
Imam mazhab disertakan sebuah alasan, (ii) mengeluarkan sari pati berupa kaidah
pada kesimpulan hukum dalam suatu mazhab,
untuk memperkenalkan metode ijtihad yang ditempuh pada sebuah mazhab tersebut,
(iii) mengunggulkan (tarjîh) berbagai pendapat yang disampaikan oleh Imam;
seperti apabila ada dua pendapat yang bertentangan serta menjelaskan sebab dari
perbedaan (ikhtilâf) tersebut (iv) menata fikih mazhab secara teratur.
Maka kita lihat
nama seperti Imam Nawawi (w. 676 H) dan Imam Rafi’i (w. 774 H), yang sering
disebut-sebut sebagai pemfilter seluruh kitab-kitab mazhab Syafi’i, bahkan Ibnu
Hajar al-Haytami (w. 973 H) mengatakan bahwa seluruh buku-buku mutaqaddimîn
belum dipercaya keotentikannya hingga diteliti dan diperiksa oleh Imam Nawawi
dan Imam Rafi’i.
Pasca runtuhnya Baghdad,
ilmu-ilmu sudah banyak yang menurun akibat banyaknya buku-buku yang dienyahkan.
Dr. Abdul Karim mengatakan, generasi ini mencoba membuat sebuah kitab kecil dengan
bentuk ringkasan namun menyimpan berbagai makna dari berbagai kitab, atau yang
disebut dengan matn. Selanjutnya, matn tersebut perlu diperjelas baik
dari penulis itu sendiri ataupun ulama yang datang setelahnya, maka dibuatlah Syarh
hingga Hâsyiyah. Dalam mazhab Syafi’i, kita mengenal berbagai kitab matn,
seperti; Ghâyah al-Ikhtiṣar (593 H.), Sofwah al-Zubad (844
H.), Safinah al-Najât (1271 H), Masâil al-Ta’lîm (918 H.),
al-Sittîn Mas’alah (819 H.), dsb. Dalam Syarh, Ghâyah
al-Ikhtiṣar, misalnya, ia diperjelas oleh berbagai kitab ulama Syafii,
diantaranya al-Iqna’ (977 H.), Fath al-Qarîb al-Mujîb (917 H.), Nihâyah
al-Tadrîb (890 H.) dan Kifâyah al-Akhyâr (829 H.).
Selain
matn, syarh dan hâsyiyah, para ulama periode ini juga membuat
kitab yang berisikan jawaban-jawaban atas pertanyaan masyarakat kepada ahli
fikih seputar masalah hukum dalam kehidupan, yang dikenal dengan kitab
al-Fatâwâ. Seperti al-Fatâwâ al-Bazâziyyah, milik Ibnu Bazzaz
al-Kurdi (w. 827), al-Fatâwâ al-Hindiyyah, yang dibuat oleh ulama India
untuk mengumpulkan pendapat mu’tamad mazhab Hanafi pada tahun 1069-1119
H, kitab al-Fatâwâ milik Ibnu Taimiyyah (w. 728), Imam Subki (w. 756 H),
Fatâwâ al-Azhar, dsb. Sampai saat ini masih banyak yang menuliskan
berbagai syarh dan hâsyiyah bagi kitab-kitab yang telah dibuat.
Pembagian ini hanyalah bersifat mayoritas (aghlâbiyyah),
karena secara fenomena (wâqi`iyyah) corak inilah yang dapat dipetakan
dalam penulisan turats. Dari keberagaman fitur turats yang ada, seakan
mengajarkan kita dua hal. Pertama, Allah Swt. memberikan setiap masanya
sebuah permasalahan yang kelak bisa dipecahkan oleh hamba-Nya pada masa itu,
seperti yang Ia firmankan; “Qul kullun ya’malu ‘alâ syâkilatihi”.
Imam Syafi’i mungkin saja membuat syarh
untuk al-Umm, bahkan pasti bisa, karena
ia adalah imam. Namun saat itu keadaan memaksanya untuk men-tadwin kitab
induk sebagai rujukan, adapun penulisan syarh belumlah terfikirkan.
Begitu juga ulama yang datang setelahnya, mereka ingin memudahkan
generasi selanjutnya (kita saat ini) agar dapat memahami apa yang telah dibuat
oleh gurunya, yakni dengan matn, syarh dan hâsyiyah.
Kedua,
sebelum
sampai kepada al-Qur`an dan sunnah, seorang pelajar hendaklah melewati kitab-kitab milik mutaakhirȋn, seperti matn,
syarh dan hâsyiyah, agar dapat memahami kitab milik mutaqaddimȋn,
layaknya kitab-kitab induk mazhab seperti al-Umm, dan nantinya akan
memahami kandungan dari al-Qur`an dan Sunnah, bukan langsung meloncat pada keduanya.
Karena semua ulama membuat karyanya tidak lain dan tidak bukan untuk ber-khidmah
pada al-Qur`an dan sunnah. Wallahu A’lam Bi al-Ṣawâb.
*Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Ushuluddin Universitas al-Azhar dan Pimpinan Redaksi Majalah Latansa
Tidak ada komentar: