Oleh : Vivi Nofiyantika*
Dr. Ali Jum’ah dalam bukunya al-Tharîq ilâ al-Turâts
al-Islamiy menyebutkan bahwa salah satu manfaat dari memahami turats adalah mengetahui cara
berpikir para salaf—mengambil manfaat darinya dan mengamalkannya. Meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa turats tidak hanya membawa manfaat
pada generasi setelahnya, terkadang juga menuai beberapa kritikan.
Pernyataan ini dipertegas oleh Dr. Yusuf Qardhawy dalam
bukunya Kaifa Nata’âmal ma’a at-Turâts, yang menyatakan bahwa turats tidak benar-benar terjaga dari
kesalahan sebagaimana terjaganya pendapat dari Nabi Muhammad Saw.. Bahkan ia
berpendapat “lâ ‘iṣmata li ghairi Rasûlillah” atau yang diartikan bahwa ‘iṣmat
atau keterjagaan dari kesalahan hanyalah milik Rasulullah Saw. semata. Namun,
tidak serta merta kita dapat menuang kritik tanpa dalil kepada turats para salaf, karena
Rasulullah Saw. pun menjaga pemahaman Sahabat kala itu, sehingga
meminimalisir kesalahan yang terjadi dalam pada zaman Sahabat.
Dalam majelis syarhnya terhadap buku “al-‘Awâṣim
min al-Qawâṣim”, Dr. Hisyam Kamil mengatakan bahwa kesalahan jika terdapat
pada manusia zaman sekarang adalah biasa, namun kesalahan yang dinisbahkan
kepada Sahabat bukanlah biasa. Dari sini, kita dapat menarik kesimpulan bahwa
perlunya seni dan mursid dalam memahami turats
Islam. Hal ini juga merupakan salah satu usaha dalam menjaga isi pemahaman turats Islam, karena jika terdapat
kesalahan dalam memahami turats, maka makna keontetikan teks turats pun akan
terjatuh dari tujuan awal. Sehingga akan berimbas pada pemahaman generasi
selanjut-selanjutnya yang salah, mengingat jarak mereka dari zaman Rasulullah
Saw. terlampau lebih jauh dari saat ini.
Lalu, bagaimana kita dapat menjaga sekaligus mengambil
manfaat dari turats, jika bukan
dengan mewarisinya dari para ulama agar mendapatkan pemahaman yang benar,
bukankah demikian?
Mengapa? Dr. Ahmad
Thayyib dalam “al-Turâts wa al-Tajdîd” mengatakan, bahwa ada perbedaan
perbendaharaan kata, istilah dan gaya bahasa yang digunakan oleh ulama salaf
yang tidak marak digunakan di zaman ini, yang kemudian menjadi salah satu
dinding penghalang untuk memahami turats
tersebut. Sehingga selain dari pada pentingnya mursid, keahlian dan seni
membaca pun sangat dibutuhkan untuk menghindari kesalahpemahaman dalam membaca
buku.
Dalam hal ini, beberapa ulama mensiasatinya dengan menulis
risalah tersendiri yang berisi pedoman
dalam membaca buku (adabu al-Muţâla’at), atau memasukkan kontennya dalam
karya-karya mereka. Sebagaimana yang dikatakan Mortliner J. Adler
Mensiasati hal ini, Imam Hamid Al-Ghifari, salah satu
penulis risalah tentang adabu al-Muţâla’at, membagi risalahnya
menjadi 3 bagian, yaitu pembukaan, inti dan wasiat, yang akan penulis pusatkan pembahasannya
pada dua bagian saja yakni ‘proses sebelum membaca (pembukaan) dan proses
pembacaan inti’ saja.
Pembukaan adalah apa-apa yang perlu diketahui
pembaca sebelum memasuki kegiatan membaca aktif. Sekurang-kurangnya pembaca
harus dapat membedakan antara perkara yang bersifat konsepsi taṣawwuriy dan
perkara yang bersifat proposisi taṣdîqiy, atau perkara yang sudah dapat
dihukumi benar atau salahnya. Kemudian pembaca menghadirkan kemungkinan-kemungkinan
atas perkara konsepsi tersebut, seperti memahami kosa kata, istilah pengarang dan
gaya bahasa penyampaian, sebagai usaha penegasan maksud yang ingin disampaikan
oleh pengarang dan bekal sebelum menuju ke pembacaan inti.
Setelah pembukaan, barulah kita masuk ke tahapan yang di
sebut maqşid oleh Imam Hamid Al-Ghifari atau yang diistilahkan sebagai
proses membaca analitis oleh Mirtliner J. Adler. Yaitu tahapan yang dimulai dari pembacaan secara
sekilas oleh pembaca dari awal buku hingga akhir. Kegiatan ini ditujukan untuk
mempermudah pembaca dalam menyusun pola inti sari yang ingin disampaikan
penulis. Hal Ini penting dilakukan sebelum pembacaan yang kedua secara lebih
teliti. Dalam tahap ini, membedakan perkara-perkara konsepsi dan proposisi juga
sangat diperlukan.
Selanjutnya, pembaca diharapkan bersikap analitis bahkan
skeptis dari apa yang telah dibacanya. Proses membaca analitis ini dapat
dimulai dengan memastikan istilah atau kata serta mengecek ulang makna yang
ingin disampaikan penulis, karena penggunaan istilah dalam setiap bidang ilmu
berbeda-beda, bahkan setiap zamanpun berbeda, sesuai dengan perkembangan bahasa
yang terjadi saat itu—tidak sedikit kesalahan dalam memahami suatu ilmu dimulai
dari kesalahpamahan tentang definisi ilmu itu sendiri yang berbeda-beda.
Selanjutnya memunculkan kemungkinan-kemungkinan yang
berfungsi sebagai bahan pembanding untuk mengetahui maksud dan makna yang ingin
disampaikan mu`allif. Sebagaimana yang diriwayatkan Imam Ibnu Abdul
Birri al-Maliki atas perkataan Imam Khalil bin Ahmad yang menyatakan bahwa “al-‘ulûm
aqfâlun wa al-su`âlâtu mafâtîhuhâ” yang berarti ilmu adalah sebuah gembok
dimana pertanyaan-pertanyaan menjadi kunci pembukanya.
Mengapa kita harus bersikap kritis?. Proses membaca
secara aktif akan menuntut lebih banyak usaha ‘memahami’ daripada pembaca pasif
yang asal menerima informasi yang disediakan penulis, sehingga kritis dalam
membaca jauh lebih unggul ketimbang pasif dalam menerima informasi begitu saja.
Adler membantu kita untuk sedikit merumuskan pertanyaan awal, ia menyusunnya
menjadi 4 format pertanyaan, yaitu: apakah yang dikatakan buku secara
keseluruhan?, apakah yang dinyatakan penulis dan bagaimana ia menyatakannya?,
apakah kandungan buku tersebut itu benar? dan apakah buku itu penting?.
Keempat pertanyaan ini dapat dijadikan fondasi awal sebelum mulai pada
pertanyaan yang lebih kritis lagi.
Selanjutnya pembaca mulai masuk dalam ranah pengambilan
dalil, di mana pembaca diharap berhati-hati dalam memahami pengambilan dalil
dan pandangan penulis. Karena, entah untuk memperkuat pemahaman atau justru
mencari kebenaran pemahaman; pengambilan dalil menjadi hal penting tersendiri
yang sangat perlu mendapat perhatian khusus oleh pembaca yang teliti.
Untuk mengurangi kesalah pahaman, pembaca dianjurkan
untuk membaca berulang-ulang buku yang hendak dipahami, sebagaimana pengakuan
Imam Muzani dalam kitab al-Majmû’ milik Imam Muhyiddin al-Nawawi, bahwa
ia membaca kitab ar-Risâlah lima ratus kali, dan setiap kali bacaan ia
selalu mengambil sebuah pelajaran yang baru. Membaca berulang kali juga
mengasah otak untuk menghafal makna yang dibaca.
Tahapan setelahnya, pembaca dianjurkan untuk menguji
kebenaran pemahamannya melalui proses diskusi kepada teman yang memiliki satu
visi.. Dr. Ahmad Husein mengatakan bahwa gurunya mewasiatkan padanya tentang
keutamaan belajar bersama dengan teman-teman yang satu visi adalah sama halnya
dengan keutamaan pahala salat berjamaah dari pada munfarid.
Dalam meniti proses tersebut, jika masih ada yang belum
dipahami, maka kita harus bertanya kepada ahli yang mumpuni (secara tatap muka),
atau mencari dalil yang akan memperkuat pemahaman kita dalam proses pembacaan
tersebut. Imam Ibnu Asakir meriwayatkan
dari Imam Syafi’i, ia berkata “Hakikat dari sebuah ilmu adalah al-tatsabbut
(pengkokohan)”, ia juga berkata “Orang yang berakal mengajukan pertanyaan atas
perkara yang diketahuinya dan yang tidak diketahuinya, agar mengokohkan
(pemahaman) atas apa yang telah diketahuinya, dan pembelajaran atas apa yang
belum diketahuinya.
Pengokohan pemahaman dalam hal ini menjadi signifikan,
karena bisa jadi karena salah mengartikan satu makna istilah atau salah memahami
struktur dan susunan dalil/argumentasi mu`allif justru berakibat fatal
kepada keotentikan teks, dan validitas makna yang seharusnya ingin disampaikan
penulis.
Imam Hamid al-Ghifari pun menyebutkan secara yakin, bahwa
jika seorang pencari ilmu menerapkan cara-cara diatas dalam membaca buku, maka
ia akan lebih mudah mencapai derajat at-tamayyuz atau bisa membedakan
antara mana yang bisa diterima dan tidak. Disebutkan pula dalam buku al-Maţhâli’
fî Âdâbi al-Maţâli’ bahwa cara
inilah yang dipakai dalam membaca karangan tersulit dan terakurat seperti
karangan Imam Sa’duddin at-Taftazani.
Dari sini dapat kita simpulkan, bahwa membaca membutuhkan
seni dan akhlak tersendiri untuk mencapai sebuah pemahaman yang utuh akan
sebuah ilmu. Seni membaca sendiri tidak dapat diremehkan, karena ulama-ulama
Islam pun membaca dan mengulang-ulang pelajaran disamping mengambil pelajaran
dengan cara musyâfahah. Maka, seni membaca buku secara umumnya, dan turats secara khususnya dianggap
wajib oleh penulis untuk diketahui para penuntut ilmu. []
*Penulis adalah pegiat dalam kajian Nuun Center IKPM Kairo dan Pimpinan Umum Buletin Manggala Mahasiswa Jawa-Barat
Tidak ada komentar: