Oleh : Albi Tisnadi Ramadhan*
Setiap peradaban manusia diatas bumi meninggalkan paling sedikit dua hal,
peninggalan fisik dan peninggalan pemikiran. Peninggalan fisik dapat berupa bangunan
bersejarah ataupun berbagai benda yang memiliki nilai sejarah dan peninggalan pemikiran
tertuang dalam manuskrip karya umat-umat terdahulu, manuskrip itu
bisa tertulis di atas kertas,
pelepah, potongan kayu bahkan di atas tulang belulang.
Islam sebagai salah satu peradaban
manusia terbesar di dunia mencatat kedua hal tersebut. Tidak terhitung banyaknya
peninggalan fisik umat Islam yang hingga kini masih bisa dipelajari, ditadaburi
dan tentunya dijaga. Sebut saja tiga masjid utama Umat Islam, Masjid al Haram,
Masjid an Nabawy dan Masjid al Aqsha.
Tak kalah penting dari peninggalan fisik, Islam termasuk
umat paling produktif dalam meninggalkan pokok pemikirannya (manuskrip), dimana
karya monumental tersebut tak jarang menjadi rujukan utama dalam sebuah cabang
keilmuan, seperti Muqaddimah karya Ibnu Khaldun, dalam ilmu sosiologi,
atau Al Qânûn fi al-Ţib karya Ibnu Sina dalam ranah kedokteran.
Ranah keilmuan Islam mengenal peninggalan umat manusia berupa fisik dengan
istilah âtsâr, sementara
peninggalan manusia berbentuk pemikiran dikenal dengan istilah turats.
Tulisan singkat ini akan menggambarkan sedikit tentang
peninggalan buah pikir para ulama Islam klasik (turats) serta peranannya dalam
poros keilmuan agama Islam. Awal abad 20 adalah sejarah munculnya istilah turats
dalam ranah keilmuan Islam. Sebelumnya, umat islam belum menggunakan penamaan
ini, karena tentunya penggunaan istilah ini didasari berbagai hal. Tercatat
bahwa yang pertama kali menggunakan istilah turats adalah seorang pemikir islam
kenamaan asal Mesir, Ahmad Amin (W.1954 M). Sementara seorang pemikir Islam
Mesir lainnya Zahid Al Kautsari (w. 1378 H), menggunakan istilah maurûst untuk
mendefinisikan peninggalan pemikiran Islam. (Lihat al-Tharîq ilâ Turȃts, cetakan Dar el-Nahd Masr, hal
17).
Di dalam al-Quran, kata turats hanya didapati satu tempat yaitu pada surat Al Fajr
(89/19). Para ulama tafsir menggunakan berbagai definisi dalam menafsirkan kata
turats dalam ayat : وتأكلون التراث أكلا لماا, namun esensi dari penafsiran tersebut berkutat pada makna:
harta peninggalan dari seorang yang berkecukupan untuk sepeninggalnya, atau
dalam bahasa Arab disebut mîrâst. Sementara secara makna, kata turats
terdapat dalam surat Fathir (35/32) ثُمَّ أَوْرَثْنَا
الْكِتَابَ , dari ayat ini terlihat
bahwa al-Quran masuk dalam kategori turats.
Dalam
Hadist Nabi Muhammad Saw., kata turats termaktub sebanyak satu kali pula, yaitu
pada hadist Abu Hurairah, dalam Mu’jam al-Ausaţ karya Thabrani:
قصة الرجل اللذي قال للصحابة وهم فى السوق :
أانتم هنا وتراث محمد يقسم فى المساجد ؟ فذهبوا فلم يجدوا الا اناسا يتلوم القران,
فرجعوا اليه يقولون :ما وجدنا تراثا, قال وهل ترك محمد الا هذا القران؟
Diriwayatkan
oleh Abu Hurairah, Kisah seorang lelaki yang berkata kepada para Sahabat di
Pasar: “Apakah kalian berada disini sementara turats Muhammad Saw. dibagikan di
Masjid?”, maka para Sahabat bersegera menuju masjid dan tidak menemui sesuatu
kecuali orang-orang membaca al-Quran. Lelaki tadi berkata, “Bukankah Muhammad
Saw. hanya
meninggalkan al-Quran ini?”.
Dimana dapat kita lihat bersama bahwa Hadis Abu Hurairah
ini juga menuturkan bahwa al-Quran adalah bagian dari turats.
Secara bahasa kata turats berasal dari kata و- ر- ث yang bentuk fleksi maknanya adalah wirâts,
namun terjadi penggantian huruf (ibdâl) didalamnya maka menjadi turats,
yang berarti peninggalan berupa harta pada sepeninggalnya. Maka keduanya masih
tergolong dalam turats, karena secara makna bahasa, kedua teks suci
ini adalah
peninggalan oleh Nabi Muhammad Saw. pada umatnya.
Sementara secara istilah, Syeikh Ahmad Thayyib menyatakan bahwa
pada kata turats mengalami transformasi definisi. Syeikh Ali
Jum’ah berpandangan, bahwa turats adalah hasil produksi umat manusia yang tertuang
dalam lisan dan tulisan untuk umat Islam sebelum seratus tahun dari suatu zaman.
Lain Bakr Zaki ‘Awadh yang berpandangan bahwa turats adalah produksi akal
manusia (muslim) yang telah wafat, yang tidak berbenturan dengan al-Quran dan Sunnah
dan tidak terikat oleh zaman tertentu. Kedua definisi tadi mengeluarkan al-Quran dan Sunnah dari
cakupan turats.
Transformasi pemaknaan turats tentunya disebabkan maraknya
intervensi terhadap turats Islam dari berbagai sisi, khususnya peradaban Barat. Dr
.Muhammad Imarah dalam seminar Kuliah Pemikiran Islam, di IIIT Zamalek, Kairo pada (31/10) menjelaskan posisi
turats Islam, metode berinteraksi dengannya
serta peranannya. dan pembandingnya yaitu turats Barat, metode berinteraksinya dan
peranannya pada kehidupan.
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa metode interaksi turats Islam dan Barat tidak sama baik dari
segi, keaslian, dan peranannya di masyarakat. Jika umat Muslim mengamini bahwa al-Quran dan Sunnah adalah suci dan terjaga dan sesuai
dengan zaman dan waktu, tidak halnya dengan Barat, mereka meyakini bahwa setiap
teks dapat senantiasa diubah, dan disesuaikan oleh zaman. Begitu selanjutnya,
konsep pembaharusan teks yang terdapat dalam peradaban barat sangat berbeda
dengan yang digunakan oleh Islam. Di Barat, konsep pembaharuan berbentuk
menyesuaikan teks dengan zaman, bahkan menjadikan akal manusia sendiri sebagai
timbangan untuk perbaikan. Dari peradaban ini lahirlah ideologi-ideologi yang
kini mencoba merasuk dalam ranah keilmuan Islam seperti: Liberal, Plural,
Atheis dan Gender.
Sementara bagi umat Islam, mengambil pelajaran dari turats
adalah sebuah keharusan, bahkan mempelajarinya merupakan syarat dari
majunya peradaban. Pada ranah turats Islam, Jumhur ulama telah membaginya
menjadi dua bagian, yaitu turâts muqaddas atau turats yang tidak
dapat semena-mena dalam mengkajinya (al-Quran dan Sunnah), juga ada turâts
ghoir muqaddas atau turats yang memberikan lapangan bagi setiap pemikir dan
ulama Islam setiap zaman untuk dinamis dan tidak hanya berkutat pada permasalahan suatu zaman terdahulu
saja, melainkan aktif untuk menyelesaikan permasalahan kontemporer.
Para ulama telah mengemukakan alasan kuat bagi para penuntut ilmu khususnya, dan umat muslim
pada umumnya, untuk
menjadikan turats sebagai pijakan. Syekh Ali Jum’ah mengutarakan bahwa
seorang ulama klasik dan karyanya merupakan pribadi yang paling besar
interaksinya dengan lima unsur utama kehidupan, yaitu: benda, manusia, simbol,
fikiran, dan kejadian, dalam naungan teks suci Islam ( al-Quran dan Sunnah). Hal
ini yang menekankan bahwa teks suci tersebut yang menjadi poros dalam kehidupan
manusia. Makna teks suci sebagai poros kehidupan adalah ketika bersinggungan
dengan alam nyata, maka setiap kejadian yang timbul dijadikan sebuah representasi
dari teks suci tersebut.(Lihat al Tharîq ilâ Turâts, hal 21)
Lebih
jauh lagi, Syeikh Yusuf
Qardhawy menjelaskan, dalam memahami turats berarti mempelajari
peradaban umat terdahulu. Tentunya permasalahan akan terbatas pada tempat dan
rentang waktu tertentu, maka dari itu perlu perluasan pandangan dan permasalahan
sehingga bisa diterapkan pada masa kini. Sementara peradaban Barat yang
memposisikan diri sebagai pembanding harus ditempatkan pada sebuah area yang
tepat, karena metode pemahaman dan aktualisasi turats Barat sangat jauh
berbeda. “Kita ingin berfikir untuk diri kita sekarang, dengan akal
kita, tidak dengan akal selain kita. Tidak dari para umat-umat yang telah wafat
yang diantara kita dan mereka terbentang abad-abad (para ulama klasik), juga tidak dari peradaban
yang hidup sekarang (barat) yang perbedaan kita dan mereka bagaikan langit dan
bumi.” (Lihat, Kaifa Nata’âmal ma’a al-Turâts, hal. 6).
Secara umum, setelah memahami hakikat turats dan peranannya untuk
umat, dalam berinteraksi dengan turats Islam terdapat tiga tahapan yang
perlu ditempuh seorang penuntut ilmu. Pertama menggali dasar teks turats dan
membaginya ke unsur-unsur permasalahan (qawâ’id) dikenal dengan istilah tahlȋl, kemudian memahami dengan lebih detail
metode yang dipakai oleh ulama-ulama Islam klasik dalam menyelesaikan suatu permasalahan di zamannya.
Hal ini
dikenal dengan istilah tajrid yaitu mengeluarkan unsur-unsur terluar
dari sebuah perkara. Dan yang terakhir, adalah pengambilan kesimpulan yang digunakan untuk
mengatasi problematika kontemporer berdasarkan teks-teks klasik Islam atau
dalam Islam dinamakan isthinbâţ. Syeikh Ali Jum’ah mengingatkan kepada
setiap pengkaji turats agar tidak terpaku pada permasalahan-permasalahan
yang terdapat pada zaman mereka, akan tetapi perhatikanlah bagaimana mereka
(ulama klasik) menggunakan akal mereka dengan tetap berpegang pada teks.
Sebagai contoh, seorang ahli Usul Fikih berfikir, bagaimana agama
dapat memecahkan permasalahan? Maka ia berfikir dalam banyak permasalahan, kemudian
kembali bertanya, apa yang melandasi setiap permasalahan? Maka terjawab dengan al-Quran
dan Sunnah, kemudian kembali bertanya bagaimana meyakini bahwa al-Quran dan Sunnah itu asli? Maka mereka
membuat sebuah ilmu tausîq (Ilmu yang
memastikan keaslian al-Quran dan Sunnah),
kemudian kembali bertanya bagaimana mencermati sebuah ayat? Maka sebuah ayat
pasti ada yang qath’iyyud dilâlah dan zhanniyyud dilâlah. Kemudian kembali
bertanya bagaimana jika teks terbatas dan permasalahan terus bertambah, maka
perlu adanya konsep qiyas, kemudian kembali bertanya bagaimana bisa
disatukan permasalahan lama dan baru? Dan apa yang dilakukan ketika kedua dalil
bertentangan? Maka dijawab dengan tarjih, kemudian
bertanya siapa yang berhak melakukan ini? maka terjawab seorang mujtahid yang
paling berhak untuk melakukan fase-fase rumit ini.
Contoh diatas
adalah gambaran kecil dari tugas para ulama Islam. Selama para ulama Islam
masih menjadikan al-Quran, Sunnah dan turats
Islam sebagi objek kajian, disitulah tanda berputarnya roda peradaban. Karena
pada kenyataannya, peradaban Barat yang kosong dari makna perlahan ditinggalkan
oleh penganutnya sendiri, tersisa para generasi penerus peradaban Islam yang
berada di garda terdepan untuk menuntun umat sesuai dengan manhaj yang
telah diridoi Allah dan Rasul-Nya. Wallâhu a’lam bi al-Ṣawâb.
*Penulis adalah pegiat kajian Nuun Center IKPM Kairo dan Pimpinan Redaksi Media Informatika Mesir
Tidak ada komentar: