Oleh : Sayyidulqisthon*
“Ini gerakan tidak main-main, ini lebih dari sekedar
kebangkitan sepotong kain,” ujar Emha dalam salah satu naskah fenomenalnya,
Lautan Jilbab. Dan sekarang kain itu tidak hanya sepotong, gerakan jilbab telah
memasuki fase selanjutnya, dari jilbab menjadi cadar dan niqab. Apa itu cadar? Apa
bedanya dengan jilbab, hijab dan himar? Apa hukumnya dalam matriks hukum Islam
yang lima menurut 4 mazhab atau bahkan lebih? Jika anda mencari jawaban dari
pertanyaan itu saya anjurkan tidak melanjutkan membaca tulisan ini. Dan untuk
mencari jawabannya saya anjurkan merujuk ke buku dan literasi lain yang
terpercaya bukan tulisan ini.
Perjalanan hijrah dari bertelanjang kepala menuju jilbab dan
dari berjilbab menuju cadar nilainya tidaklah sama. Dalam bahasa lain bisa
dibilang ibarat perubahan dari gelas kosong kemudian diisi air lalu ditambah
gula. Dari ketiga fase tersebut manakah yang bisa menolong orang kehausan?
Tentu saja yang ke-dua dan tiga. Dan jika secara bersamaan ada tiga gelas
ditawarkan pada kawan kita yang kehausan tadi, sudah pasti pertama ia akan
membuang gelas kosong dari daftar pililannya, dengan demikian tersisa dua
pilihan untuknya. Dari sini ia bebas menentukan gelas mana yang ia pilih,
berbeda dengan gelas pertama (yang kosong), membuangnya dari daftar pilihan
adalah sebuah keharusan.
Memang tidak bijak menjadikan kenampakan fisik seseorang
sebagai tolok ukur dan parameter ke-salihan apalagi imannya. Karena memang
iman, sesuai poin yang disepakati para ulama kalam adalah keyakinan dalam hati.
Namanya saja keyakinan, mana bisa diuji secara pragmatis! Dengan
demikian niqab seseorang belum cukup untuk menyatakan kesalihannya berada di
atas mereka yang hanya mengenakan jilbab saja, apalagi peci. Tampaknya sudah
maklum adanya jika beberapa calon wakil rakyat tiba-tiba saja berpeci dan
menyandang sorban pada masa-masa kampanye. Atau bahkan beberapa lainnya yang
sudah menjabat (tapi belum berpeci), tiba-tiba berpeci ketika terjerat kasus
dan muncul di televisi.
Lalu, bagaimana kita seharusnya menyikapi fenomena cadar dan
niqab ini? Keputusan dan sikap baru bisa diambil jika permasalahn sudah
difahami dengan benar dan utuh, pemahaman yang tidak utuh hanya akan
mengakibatkan pengambilan sikap yang salah. Lho, kalau begitu kapan kita
mau mengambil sikap? Pasalnya memahami permasalahan secara utuh tampaknya akan
mengabiskan waktu yang tidak sedikit! Demikian lebih baik, dan dalam proses
menyusun pemahaman yang utuh tersebut sikap sementara yang kita ambil adalah husnu
dzan. Husnu dzan terhadap latar belakang seseorang mengenakan cadar,
husnu dzan bahwa mengenakan cadar adalah jalan yang mampu mendekatkannya pada
Allah, dan husnu dzan-husnu dzan lainnya.
Di antara hasil husnu dzan itu, penulis menemukan satu makna
bahwa mereka yang mengenakan cadar memiliki kesadaran (bukan sekedar
pengetahuan) lebih dalam tentang makna malu, al-haya`u minal iman. Dan
dengan rasa malu itu ia bisa mengontrol tindakan dan tingkah lakunya, terlepas
dari pertanyaan kepada siapa ia malu? Kepada Allah-kah atau orang lain?
Sangat disayangkan jika lagi-lagi kita melewatkan pelajaran
dari fenomena cadar ini, jika lagi-lagi fenomena dan isu yang ada di depan kita
hanya berakhir sebagai bahan obrolan dan buah bibir belaka, tanpa memberinya
tempat di hati. Untung jika kita sempat memsukkannya ke kepala. Dan lebih
disayangkan lagi jika kelak fenomena cadar ini sampai pada titik di mana cadar
hanya menjadi bagian dari salah satu mazhab tata busana (fashion) tanpa
adanya keterlibatan unsur ibadah.
Tapi meski demikian, kalau saja penulis adalah salah satu
tokoh pemilik kekuasaan, tentunya fenomena cadar menjadi sangat perlu
diwaspadai. Karena cadar menutup salah satu pintu kuasa saya, kuasa untuk
mengawasi mereka yang berada di bawah kekuasaan saya sampai ke ruang-ruang
pribadinya. Siapa tahu dari ruang pribadi tersebut lahir benih-benih
pemberontakan yang akan menjatuhkan kuasa saya. Sayangnya asumsi kepemilikan
kuasa itu ambyar oleh kesadaran bahwa kuasa sejati hanya milik Allah.
Sekali lagi tulisan ini bukan versi cadar dari Lautan Jilbab milik
Emha, yang mampu menyajikan fenomena jilbab dari berbagai sudut pandang dengan
bahasa budaya yang apik. Apalagi karya ilmiah para aktifis-aktifis diskusi dan
seminar yang tulisannya sanagat bisa dipertanggung jawabkan di depan publik.
Menghargai semua orang adalah keharusan, dan jika terpaksa harus membenci, maka
yang dibenci adalah pilihan dan tindakan yang ia lakukan bukan ia sebagai
subjek.
*Penulis adalah mahasiswa jurusan akidah filsafat Universitas al-Azhar
Tidak ada komentar: